Kamis, 16 April 2009
Telaah Mushaf Kuno Nusantara
Ditulis oleh Ali Akbar dengan judul asli: “Menggali Khazanah Kaligrafi Nusantara.” dengan sub judul: “Telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno.”
Di Indonesia, sejauh yang diketahui sampai saat ini, Mushaf yang paling kuno ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H (1597 M) di Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan naskah tertua empat abad lebih yang lalu itu, diperkirakan kegiatan penyalinan Alquran di Nusantara telah berlangsung sejak saat itu, atau satu atau dua abad sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ulama-ulama di berbagai kota lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Selain Maluku Utara, pusat-pusat Islam masa lalu, di antaranya Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Madura, Lombok, Banjarmasin, dan lain-lain. Di kota dan daerah-daerah tersebut Mushaf tua ditemukan dalam jumlah cukup banyak, baik tersimpan di museum maupun tersebar di masyarakat.
Motivasi yang mendorong umat Islam untuk menyalin Mushaf adalah, pertama, karena Alquran merupakan pedoman hidup Muslim, dan kedua, karena semangat mengajarkannya, atau dakwah.
Membaca Alquran bagi setiap Muslim merupakan ibadah, mereka akan selalu berusaha untuk mengulang baca, dan mempelajari isinya. Oleh karena itu, setiap Muslim merasa perlu memiliki salinan Alquran, baik lengkap, atau surah-surah tertentu yang dianggap istimewa, seperti Yasin, atau surat-surat pendek dalam juz 30.
Memperhatikan Mushaf-mushaf kuno di berbagai tempat, sangat sedikit yang menuliskan kolofon, yang biasanya berisi data penulis, pemesan, dan waktu penulisan. Ketiadaan kolofon ini menyulitkan pengkaji Mushaf, karena tidak mudah untuk memperkirakan masa penulisannya. Penyalinan Mushaf pada awalnya banyak dilakukan oleh para ulama, kiai, atau santri di pesantren-pesantren di berbagai daerah di Nusantara.
Menurut Mahmud Buchari, Mushaf-mushaf monumental di Indonesia pada umumnya ditulis oleh ulama-ulama terkenal, misalnya Mushaf Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin, Mushaf Syekh Nawawi al-Bantani dari Banten, Mushaf Diponegoro, dan Mushaf Amangkurat I dari Jawa Tengah. Namun tampaknya tokoh-tokoh tersebut tidak selalu yang menulis Mushaf secara langsung, melainkan sebagai pemilik atau pemesan. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 dan 17 M, Makkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa para penyokong seni Islam, termasuk yang terpenting Mushaf, adalah para raja atau elite penguasa. Keterlibatan raja dalam penyalinan Mushaf telah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Islam, dan para khalifah selalu menjadi pelindung yang paling penting.
Di Indonesia demikian pula, para sultan atau bangsawan menjadi pemrakarsa penyalinan Mushaf, seperti di Palembang, Surakarta, dan Yogyakarta. Penyalinan Alquran yang disponsori oleh kerajaan pada umumnya bersifat monumental, baik dari segi kaligrafi maupun iluminasinya.
Iluminasinya biasanya berlatarkan emas, dengan detail penggarapan yang baik, mementingkan segi keindahan Mushaf. Sementara, Mushaf yang dibuat oleh masyarakat Islam pada umumnya, termasuk kalangan pesantren, bersifat sederhana, atau amat sederhana, karena fungsinya berbeda. Mushaf bagi kalangan ini adalah untuk dibaca atau untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu, baik kertas, iluminasi maupun kaligrafinya jauh lebih sederhana.
Ragam Gaya Kaligrafi
Ragam kaligrafi yang terdapat dalam naskah –seperti halnya dalam epigrafi (tulisan pada batu) yang telah dikaji Hasan M. Ambary– memperlihatkan dua kecenderungan, yaitu (1) adanya anasir kebudayaan asing, dan (2) pengembangan kreativitas lokal.
Dalam perkembangannya, karya-karya kaligrafi Nusantara, dalam berbagai media ekspresi seni, berhasil menyerap unsur budaya setempat. Dalam konteks penulisan Mushaf kuno Nusantara, dua karakter hasil transfomasi budaya, yaitu Mushaf yang memperlihatkan kuatnya anasir budaya asing, dan Mushaf yang merupakan hasil pengembangan kreativitas lokal, keduanya tampak cukup jelas.
Unsur-unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat terlihat misalnya dalam “kaligrafi floral”, suatu karakter kaligrafi yang bermotif tumbuh-tumbuhan yang sangat khas. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan pada kepala-kepala surah.
Sebuah Mushaf yang cukup mewah dari Palembang memperlihatkan dengan jelas unsur tradisi Mushaf Turki Usmani, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Kaligrafi Naskhi yang digunakan dalam Mushaf ini sangat dekat dengan gaya Naskhi yang dituliskan pada Mushaf-mushaf Turki sezaman. Namun Mushaf seperti itu tidak banyak, dimungkinkan karena hubungan antarkesultanan; dan yang paling banyak, menyebar di berbagai daerah, adalah Mushaf dengan “citarasa” lokal, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Hal ini memperlihatkan apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap budaya lokalnya, sehingga menumbuhkan kreativitas yang warna-warni.
Kaligrafi dalam Mushaf secara umum terdiri atas empat bagian: (1) kaligrafi teks (nash) Alquran, (2) kaligrafi nama-nama surah, (3) kaligrafi teks pias (pinggir halaman), berupa tulisan juz, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah; dan (4) kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran, berupa doa-doa, daftar surah, dan kolofon. Masing-masing bagian tersebut memiliki ciri khas penulisan tersendiri, dan gaya kaligrafi yang dipakai berbeda-beda. Para pekerja Mushaf mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan fungsi masing-masing bagian di atas.
(1) Kaligrafi teks Alquran
Gaya kaligrafi yang paling banyak dipakai untuk bagian utama Alquran ini adalah Naskhi, dan jarang sekali yang menggunakan gaya lain. Ini tentu saja dapat dimengerti, karena Naskhi merupakan gaya yang paling mudah dibaca, dan fungsi Mushaf pertama-tama adalah untuk dibaca.
Mengamati beberapa Mushaf yang ada, gaya Naskhi yang tertulis dalam Mushaf-mushaf dari berbagai daerah di Nusantara pada umumnya sederhana atau sangat sederhana. Gaya Naskhi di sini bukanlah Naskhi dengan kaidah penulisan yang baku seperti yang telah dirumuskan oleh ahli kaligrafi (khattat), namun suatu gaya Naskhi yang bebas, sesuai style masing-masing penyalin.
Dari banyak Mushaf kuno yang telah dikaji, gaya Naskhi yang paling baik kualitasnya. Sementara gaya kaligrafi yang lain tidak ditemui adalah sebuah Mushaf dari Palembang, milik keluarga ahli waris kesultanan Palembang. Naskah ini sangat mirip dengan Mushaf Turki, baik iluminasi dengan latar emasnya yang mewah, maupun kaligrafinya. Gaya Naskhi yang dipakai adalah gaya Turki, namun dengan penguasaan pena yang masih kurang sempurna.
Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa naskah ini merupakan satu-satunya Mushaf yang telah berusaha menuliskan huruf Arab dengan benar, sesuai kaidah baku yang telah dirumuskan oleh para kaligrafer pendahulu di Timur Tengah.
Dapat dipastikan, penyalin Mushaf ini telah mendapatkan pendidikan menulis kaligrafi dengan baik. Hal itu tampak dari olahan hurufnya yang sangat kreatif, meskipun masih dengan detail yang kurang baik. Konsistensi penulisannya, dari awal hingga akhir Mushaf, juga mengagumkan. Keseluruhan teksnya, termasuk penulisan kepala-kepala surah, menggunakan Naskhi, sesuatu yang sangat lazim dalam Mushaf-mushaf Turki.
Sesuatu yang menarik dicermati pula dalam Mushaf ini adalah penggunaan “hurf at-taj” (huruf mahkota) berupa tanda lengkung pada setiap huruf ba Basmalah. Hurf at-taj (huruf mahkota) pada ba Basmalah dalam Mushaf dari Palembang hurf at-taj (huruf mahkota) di sini berfungsi sebagai penanda awal surah.
Abjad Arab tidak memiliki huruf kapital (huruf besar), oleh karena itu, penggunaan tanda lengkung pada ba Basmalah adalah untuk menandai permulaan surah, secara lebih tegas. Penandaan seperti ini tidak ditemukan pada Mushaf lain.
Pada Mushaf-mushaf lain, penandaan awal surah pada umumnya menggunakan penulisan ta pada kata ayat dan Makkiyah/Madaniyyah yang dipilin-pilin sedemikian rupa akan dibicarakan dalam subbagian berikut.
Selain Mushaf Palembang ini, penulisan Mushaf-mushaf yang lain praktis tanpa mengindahkan kaidah baku kaligrafi Arab yang telah menjadi pegangan umum para penulis Mushaf dan naskah-naskah keagamaan selama berabad-abad. Di sini tampak bahwa kaligrafi Arab di Nusantara “jatuh” ke tingkat individu, tidak pada tingkat yang lebih tinggi misalnya, ada suatu kaidah umum.
Jika dibandingkan dengan Mushaf-mushaf dunia Islam lain, misalnya Turki, Mesir, Irak, dan Iran yang demikian indah kaligrafinya, kualitas kaligrafi Mushaf Nusantara dapat dikatakan rendah, atau “jarang [yang] sampai ke tingkatan seni”.
Di Timur Tengah, gaya yang lazim pula dipakai, selain Naskhi, adalah Muhaqqaq, suatu gaya yang biasanya dipakai untuk Mushaf-mushaf kesultanan yang monumental.
Gaya Naskhi selalu dipakai oleh para penyalin Mushaf karena gaya ini paling sederhana penulisannya, dan paling mudah dibaca. Para kaligrafer Nusantara pada umumnya menyalin Alquran terutama untuk keperluan pengajaran. Dalam hal itu, tentu yang dibutuhkan adalah Alquran yang sederhana, mudah dibaca.
Adapun Mushaf-mushaf yang indah dan monumental, pada umumnya dibuat di keraton, dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya untuk mengukuhkan kekuasaan. Meskipun demikian, kaligrafi yang digunakan adalah Naskhi pula, dan tidak menggunakan gaya lain yang monumental. Hal terakhir ini, mungkin dikarenakan tenaga terampil dalam bidang kaligrafi sangat terbatas.
Beberapa gaya Naskhi dalam Mushaf kuno yang mengikuti “selera” penyalinnya sendiri, dapat dilihat dalam banyak Mushaf yang ada. Gaya Naskhi pada Mushaf-mushaf dengan bahan kertas dluwang tampak lebih sederhana, karena Mushaf tersebut memang tidaklah dibuat untuk memenuhi rasa keindahan, tetapi hanya untuk pengajaran, terutama di pesantren-pesantren.
Kertas dluwang banyak digunakan untuk menulis teks-teks keagamaan di pesantren-pesantren, karena harganya lebih murah daripada kertas Eropa, dan dapat diproduksi secara manual.
Dalam penulisan nash Alquran, sesuatu yang dapat dikatakan unik, adalah ekor ayat-ayat sisa yang dituliskan di kepala surah selanjutnya. Hal ini menjadi gejala umum, dan terdapat pada Mushaf-mushaf dari Palembang, Pakanbaru, Mataram, Surabaya, dan Demak. Hal ini juga terdapat pada Mushaf kuno Timur Tengah, namun tidak ditemukan lagi pada Mushaf-mushaf “modern”. Sisa-sisa ayat sebuah surah yang dituliskan di kepala berikutnya: Sebuah Mushaf dari Palembang. Model seperti ini terdapat di berbagai daerah.
(2) Kaligrafi kepala surah
Bagian ini sangat menarik perhatian. Para penyalin dan seniman mencurahkan segala kemampuan untuk memperindah bagian ini, karena sangat menentukan keindahan Mushaf. Gaya kaligrafi yang dipakai untuk bagian ini sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan kreativitas penyalin, yang bisa jadi bekerja sama dengan para iluminator atau pelukis khusus.
Sesuatu yang perlu dicatat secara khusus pada bagian ini adalah penulisan huruf ta marbutah pada kata ayat atau Makkiyyah yang dipilin-pilin, kadang-kadang sangat eksploitatif. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat unik dalam Mushaf kuno Nusantara, dan terdapat di Mushaf dari berbagai daerah, yaitu Palembang, Surakarta, Sumedang, Pakanbaru, Mataram, Makassar, Surabaya, dan Demak.
Mengingat fenomena ini terdapat di Mushaf dari berbagai kota di beberapa pulau, tampaknya hal itu merupakan fenomena umum yang terdapat pula di kota-kota lain di Nusantara.
Fungsi dari “eksploitasi” huruf seperti itu sangat jelas, yaitu sebagai tanda awal surah. (Dalam Mushaf dari Demak, dengan bentuk yang lebih sederhana, ditulis untuk setiap akhir ayat Surah al-Ghasyiyah).
Dalam tradisi Mushaf di Timur Tengah, eksploitasi huruf seperti itu untuk fungsi yang sama tidak terlihat. Adapun dalam tradisi kaligrafi, huruf ta marbutah dalam kata sanah kadang-kadang ditulis dengan penggayaan tertentu, namun bentuk finalnya hanya sederhana saja. Kata “sanah” dalam tradisi kaligrafi Islam. Dalam teks-teks kitab, bentuk penandaan bab baru dengan mengeksploitasi huruf tertentu juga terlihat. Kata “fasal” atau “kitab” yang menandai awal pembicaraan baru, sekaligus sebagai pemisah pembicaraan sebelumnya, mendapatkan perlakuan khusus, dengan digayakan sedemikian rupa, bergantung pada kreativitas penyalinnya. Kata “fasal”, “masalah”, dan “kitab” sebagai penanda awal bab kitab keagamaan: naskah koleksi Mesjid Agung Surakarta.
Dalam tradisi sastra Jawa, penandaan bab baru dengan bentuk pilinan seperti di atas juga dikenal. Dalam hal ini belum jelas, siapakah yang mempengaruhi dan siapakah yang dipengaruhi. Namun, itu menunjukkan bahwa tradisi tulis Islam sangat dekat, dan berinteraksi, dengan tradisi lokalnya.
Keunikan lain dalam penulisan kepala surah Mushaf kuno Nusantara adalah penggunaan “kaligrafi floral”, seperti yang terlihat jelas dalam Mushaf Palembang dan Makassar. Dalam tradisi kaligrafi Islam, biasanya huruf adalah huruf, meskipun berlatarkan ornamen floral. Eksistensinya tetap berbeda. Namun yang terlihat dalam Mushaf dari Palembang dan Makassar –sangat mungkin juga Mushaf dari kota-kota lain– adalah sesuatu yang unik: huruf melebur, “menjadi” ornamen floral dalam arti yang sebenarnya.
Bentuk kaligrafi ini juga menunjukkan peleburan huruf Arab (baca: Islam) dalam tradisi lokal masyarakat lingkungannya, suatu adaptasi yang unik. “Kaligrafi floral” dalam kepala surah Mushaf dari Palembang dan Makassar.
(3) Kaligrafi teks pias
Teks pias (bagian tepi halaman) berupa tulisan juz, sisipan teks Alquran yang kurang, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah. Sesuatu yang diistimewakan pada bagian ini adalah penulisan juz, nisf, dan rubu’.
Untuk menandai bagian-bagian penting Alquran itu biasanya ditulis dengan gaya tsuluts, atau huruf outline. Gaya tsuluts yang ada dapat dikatakan sederhana saja, dengan penguasaan pena yang kurang baik. Namun kekurangan dalam anatomi huruf ini biasanya ditutupi oleh keindahan ornamen yang mengelilingi huruf itu, atau oleh warna emasnya.
Dalam tradisi Mushaf kuno Nusantara, gaya kaligrafi tsuluts jarang dipakai, dan bentuknya tidaklah mengalami pengayaan yang berarti. Penegasan tanda-tanda bagian penting Mushaf itu biasanya dengan tinta merah atau emas, dengan latar ornamen yang menarik, dan lain-lain, agar mudah tertangkap oleh mata, di samping untuk menambah keindahan.
(4) Kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran (doa-doa, daftar surah, dan kolofon)
Dalam Mushaf-mushaf kuno Nusantara, bagian ini merupakan sesuatu yang langka. Pada umumnya, Mushaf hanyalah teks Alquran saja, dan tidak memuat teks selain itu. Bahkan doa khatam Alquran juga langka –meskipun bisa jadi karena faktor usia sehingga sobek dan hilang.
Pada bagian ini kaligrafi yang dipakai beragam. Saya ingin mengambil contoh sebuah Mushaf dari Palembang yang selesai ditulis tahun 1848. Doa dan daftar surah ditulis dalam gaya Naskhi, sedangkan kolofon ditulis dalam gaya tulisan khas Jawi yang “Naskhi menjelang Ta’liq”, seperti dikatakan oleh Yasin Hamid Safadi. Gaya tulisan Jawi memang dekat dengan karakter Ta’liq (Farisi), namun tidak semua kaidah Ta’liq ditaati.
Huruf sin yang menjulur merupakan karakter Ta’liq yang paling kuat. Demikian pula huruf kaf, dan posisi penulisan huruf yang condong ke kanan.
Kaligrafi sebagai Iluminasi
Membincangkan kaligrafi dalam Mushaf kuno Nusantara, hal lain yang menarik adalah kaligrafi yang menjadi iluminasi Mushaf. Contoh yang baik mengenai pokok ini adalah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat. Pada iluminasi Ummul Quran, Nisful Quran, dan Khatmul Quran (bagian awal, tengah, dan akhir Alquran) terdapat iluminasi yang sama, berupa olahan kaligrafi, dan gambar suatu makhluk hidup berupa sejenis binatang berkaki empat, berekor, dalam bentuk tulisan Arab khas Cirebon.
Iluminasi Mushaf dari Sumedang ini seluruhnya menggunakan kalimah tayyibah Laa ilaaha illallaah, Muhammadun rasalullaah yang diulang-ulang, membentuk bingkai tebal. Pada bagian pinggir luar, kalimat laa ilaaha illallaah dengan tinta merah diulang-ulang menjadi bingkai, seakan merupakan putaran yang tidak ada habisnya.
Pada bagian dalam kalimat la ilaaha illallaah juga diulang, dan di setiap pojok disempurnakan dengan Muhammadun rasuulullaah. Pengulangan (repetition) merupakan aspek penting dalam tradisi seni Islam.
Pengulangan itu merupakan suatu penerjemahan simbolis dari tauhid dan zikir, yang merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh seni Islam. Repetisi laa ilaaha illallaah yang tiada ujung pangkalnya mengisyaratkan “Huwa al-awwal wa al-aakhir wa ad-dzahir wa al-baatin” (QS 57:3), dan “Ke mana pun kaugerakkan wajahmu, di situ terlihat wajah Allah”. (QS 2: 115).
Bentuk kaligrafinya adalah khas Cirebon, dengan setiap ujung huruf melengkung-lengkung, seperti pada lukisan kaca. Kaligrafi yang diolah bebas, dengan sentuhan tradisi yang kuat, menghasilkan suatu bentuk yang sangat unik dalam kaligrafi. Kemudian, motif kaligrafi antropomorfis (makhluk hidup) yang ada pada bagian atas, bawah dan samping, merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi Mushaf.
Perdebatan tentang kehalalannya pada tingkat bukan untuk iluminasi Alquran saja tidak pernah sepi, apalagi untuk iluminasi Alquran, sesuatu yang semestinya amat sakral. Hadis riwayat Bukhari pun melarang dengan tegas orang menggambar makhluk bernyawa. Tak pelak, inilah keberanian yang tidak biasa dalam tradisi Mushaf.
Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Cina, Arab, dan India (Hindu) menyebabkan Cirebon berakulturasi dengan budaya-budaya asing tersebut. Salah satu hasilnya adalah imajinasi binatang khayal itu: seekor binatang yang tidak jelas spesies-nya. Ada beberapa bentuk binatang khayal, biasanya terdiri atas unsur-unsur peksi (burung), naga (lion), liman (gajah), dan macan –yang sering terukir pada kain batik, panel kayu, lukisan kaca, dan media-media lain.
Kaligrafi dalam bentuk makhluk hidup seperti pada Mushaf Sumedang, di Cirebon telah ada sejak abad ke-17, terutama di lingkungan keraton. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam Mushaf dari Sumedang. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam sebuah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat.
Kesimpulan Dari kajian mengenai ragam gaya kaligrafi pada Mushaf-mushaf Nusantara seperti telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Ragam gaya kaligrafi yang banyak dipakai oleh para penyalin Mushaf kuno Nusantara, yaitu Naskhi,Tsuluts, dan Farisi yang sederhana, sebagian dengan pengayaan bentuk huruf tertentu.
- Penulisan kata ayat dan makkiyyah dengan ta marbutah yang dipilin-pilin pada kepala surah dapat dianggap sebagai khas Nusantara, namun gaya kaligrafi dengan kesatuan karakter huruf yang khas tidak ada dalam Mushaf Nusantara, atau tidak dikembangkan para penyalin.
- Kepala surah yang ditulis dengan “kaligrafi floral” merupakan gaya tulisan yang khas, dan tidak dikembangkan para penulis Timur Tengah.
- Ragam gaya formal kaligrafi Timur Tengah tidak berpengaruh kuat terhadap kaligrafi Mushaf Nusantara, karena para penulis Nusantara mengembangkan gaya tersendiri.
Kiat Sukses Belajar Bahasa Arab
Berikut ini sebagian kiat yang bisa dilakukan untuk mempercepat penguasaan kaidah bahasa Arab. Kami menuliskannya berdasarkan pengalaman kami sendiri mengajar bahasa Arab dan membaca kitab sejak beberapa tahun lamanya -walhamdulillah-:
- Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad: 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.
- Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini -membaca dengan benar serta mengikuti kaidah- tidak bisa disepelekan.
- Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.
- Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi -tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.
- Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”
- Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”
- Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.
- Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di situs ini.
Pentingnya Bahasa Arab
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles. (Siyaru A’lamin Nubala, 10/74.)
Itulah ungkapan Imam Syafi’i buat umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang imam menyaksikan sikap umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatinan beliau akan semakin memuncak.
Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang menjadi alat komunikasi di kalangan umat manusia. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Idealnya, umat Islam mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa ini. Baik dengan mempelajarinya untuk diri mereka sendiri ataupun memfasilitasi dan mengarahkan anak-anak untuk tujuan tersebut.
Di masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan bahkan para khalifah tidak melihatnya dengan sebelah mata. Fashahah (kebenaran dalam berbahasa) dan ketajaman lidah dalam berbahasa menjadi salah satu indikasi keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya saat masa kecil.
Redupnya perhatian terhadap bahasa Arab nampak ketika penyebaran Islam sudah memasuki negara-negara ‘ajam (non Arab). Antar ras saling berinteraksi dan bersatu di bawah payung Islam. Kesalahan ejaan semakin dominan dalam perbincangan. Apalagi bila dicermati realita umat Islam sekarang pada umumnya, banyak yang menganaktirikan bahasa Arab. Yang cukup memprihatinkan, para orang tua kurang mendorong anak-anaknya agar dapat menekuni bahasa Arab ini.
Keistimewaan Bahasa Arab
- Bahasa Arab adalah bahasa Al Quran. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya.” (QS. Az Zukhruf: 3)
- Bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dan bahasa verbal para sahabat. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita dengan berbahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab fikih, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi pintu gerbang dalam memahaminya.
- Susunan kata bahasa Arab tidak banyak. Kebanyakan terdiri atas susunan tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya.
- Indahnya kosakata Arab. Orang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas dan padat.
Petunjuk Urgensi Belajar Bahasa Arab
1. Teguran Keras Terhadap Kekeliruan Dalam Berbahasa
Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi tradisi generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak seirama dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Apalagi bila hal itu terjadi pada orang yang terpandang.
Ibnul Anbari menyatakan: “Bagaimana mungkin perkataan yang keliru dianggap baik…? Bangsa Arab sangat menyukai orang yang berbahasa baik dan benar, mereka memandang orang-orang yang keliru dengan sebelah mata dan menyingkirkan mereka”.
Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: “Alangkah buruk bidikan panah kalian”. Mereka menjawab, “Nahnu qawmun muta’alimiina (kami adalah para pemula)”, (Seharusnya: Nahnu Qawmun Muta’alimuuna - mereka salah dalam bahasa -ed) maka Umar berkata, “Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya bidikan kalian…” (Al Malahin, karya Ibnu Duraid Al Azdi, hlm. 72)
2. Perhatian Salaf Terhadap Bahasa Arab
Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: “Amma ba’du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab”.
Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: “Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)”.
Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: “Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta dalamilah bahasa Arab”.
Beliau juga mengatakan: “Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan”. (Tarikh Umar bin Khathab, karya Ibnul Jauzi, 225)
Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar dalam menekuninya, layaknya ilmu syar’i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan sarana untuk memahami ilmu syariat.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang lewat olehku, kecuali aku memahami maknanya”.
Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab.
Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau mempelajari dari kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa’, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil, Ibnul Fathi Al Ba’li. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi.
Ulama lain yang terkenal memiliki perhatian yang besar terhadap bahasa Arab adalah Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu: Sayyid Isma’il bin Al Hasan, ‘Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan ‘Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.
3. Anak-Anak Khalifah Juga Belajar Bahasa Arab
Para khalifah, dahulu juga memberikan perhatian besar terhadap bahasa Arab. Selain mengajarkan pada anak-anak dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memberikan jadwal khusus untuk memperdalam bahasa Arab dan sastranya. Motivasi mereka, lantaran mengetahui nilai positif bahasa Arab terhadap gaya ucapan mereka, penanaman budi pekerti, perbaikan ungkapan dalam berbicara, modal dasar mempelajari Islam dari referensinya. Oleh karena itu, ulama bahasa Arab juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan dan dekat dengan para khalifah. Para pakar bahasa menjadi guru untuk anak-anak khalifah.
Al Ahmar An Nahwi berkata, “Aku diperintahkan Ar Rasyid untuk mengajarkan sastra Arab kepada anaknya, Muhammad Al Amin. Al Makmun dan Al Amin juga pernah dididik pakar bahasa yang bernama Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah Al Kisai yang menjadi orang dekat Khalifah. Demikian juga pakar bahasa lain yang dikenal dengan Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As Sari mengajari anak-anak Khalifah AlMu’tadhid pelajaran bahasa Arab. Juga Abu Qadim Abu Ja’far Muhammad bin Qadim mengajari Al Mu’taz sebelum memegang tampuk pemerintahan”.
Bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik di dunia, karena Allah memilihnya menjadi bahasa yang digunakan di dalam kitab-Nya yang mulia. Selain itu, bahasa Arab memang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pendidikan. Terutama dalam memahami Islam dengan baik dan benar. Hendaknya kaum muslimin bersemangat dalam mempelajarinya. Semoga saja.
Pengaruh Bahasa Arab Untuk Pendidikan
1. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah ta’ala berfirman, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan.” (QS. Al ‘Alaq: l)
Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan. Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham (manzhumah atau nazhaman). Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunannya, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik.
Sebagai contoh, kitab Asy Syathibiyah Fi Al Qiraati As Sab’i Al Mutawatirati ‘Anil Aimmati Al Qurrai As Sab’ah, adalah matan syair yang berisi pelajaran qiraah sab’ah, karangan Imam Al Qasim bin Firah Asy Syathibi. Buku lain yang berbentuk untaian bait syair, Al Jazariyah, yaitu buku tentang tajwid karya Imam Muhammad bin Muhammad Al Jazari. Dalam bidang ilmu musthalah hadits, ada kitab Manzhumah Al Baiquniyah, karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni. Dan masih banyak contoh lainnya.
2. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir
Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata, “Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.”
Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasinya. Dan ini salah satu faktor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk merenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah ta’ala, “Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS Al Hajj: 31)
Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka permisalan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan ramai-ramai menyambarnya sehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, mereka hancurkan. (Tafsir As Sa’di)
3. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak
Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor.
Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi’in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”. (Iqtidha Shiratil Mustaqim, hlm. 204)
Misalnya, penggalan syair yang dilantunkan Habib bin Aus yang menganjurkan berperangai dengan akhlak yang baik:
Manusia senantiasa dalam kebaikan,
selama ia mempunyai rasa malu
Batang pohon senantiasa abadi,
selama kulitnya belum terkelupas
Demi AIlah, tidak ada sedikit pun kebaikan dalam kehidupan,
Demikian juga di dunia, bila rasa malu telah hilang sirna
Juga ada untaian syair yang melecut orang agar menjauhi tabiat buruk.
Imam Syafi’i mengatakan:
Bila dirimu ingin hidup
dengan bebas dari kebinasaan,
(juga) agamamu utuh dan kehormatanmu terpelihara,
Janganlah lidahmu
mengungkit cacat orang,
Tubuhmu sarat dengan aib, dan orang (juga)
memiliki lidah.
Jadi, bahasa Arab tetap penting, Bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Seyogyanya menjadi perhatian kaum muslimin. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan.
Diangkat dari Al Atsaru At Tarbawiyah Li Dirasati Al Lughah Al ‘Arabiyyah, karya Dr. Khalid bin Hamid Al Hazimi, dosen Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah. Majalah jami’ah Islamiyyah, edisi 125 Th. 1424 H. Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 02/IX/1426H, Rubrik Baituna, hal. 05 - 08.
Keutamaan Bahasa Arab
Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh sangat menyedihkan sekali, apa yang telah menimpa kaum muslimin saat ini, hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan serius. Hal ini memang sangat wajar karena di zaman modern ini banyak sekali kaum muslimin tenggelam dalam tujuan dunia yang fana, Sehingga mereka enggan dan malas mempelajari bahasa Arab. Karena mereka tahu tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan jika pandai berbahasa Arab. Berbeda dengan mempelajari bahasa Inggris, kaum muslimin di saat ini begitu semangat sekali belajar bahasa Inggris, karena mereka tahu banyak tujuan dunia yang bisa diperoleh jika pandai bahasa Inggris, sehingga kita dapati mereka rela untuk meluangkan waktu yang lama dan biaya yang banyak untuk bisa menguasai bahasa ini. Sehingga kursus-kursus bahasa Inggris sangat laris dan menjamur dimana-mana walaupun dengan biaya yang tak terkira. Namun bagaimana dengan kursus bahasa Arab…??? seandainya mereka benar-benar yakin terhadap janji Allah ta’ala untuk orang yang menyibukkan diri untuk mencari keridhoanNya, serta yakin akan kenikmatan surga dengan kekekalannya, niscaya mereka akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa arab. Karena ia adalah sarana yang efektif untuk memahami agama-Nya.
Kenyataan ini tidak menunjukkan larangan mempelajari bahasa Inggris ataupun lainnya. Tapi yang tercela adalah orang yang tidak memberikan porsi yang adil terhadap bahasa arab. Seyogyanya mereka juga bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari bahasa Arab.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris untuk membantu dakwah ?” Beliau menjawab: “Aku berpendapat, mempelajari bahasa Inggris tidak diragukan lagi merupakan sebuah sarana. Bahasa Inggris menjadi sarana yang baik jika digunakan untuk tujuan yang baik, dan akan menjadi jelek jika digunakan untuk tujuan yang jelek. Namun yang harus dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab karena hal itu tidak boleh. Aku mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, bahkan sebagian mereka yang tertipu lagi mengekor (meniru-niru), mengajarkan anak-anak mereka ucapan “selamat berpisah” bukan dengan bahasa kaum muslimin. Mereka mengajarkan anak-anak mereka berkata “bye-bye” ketika akan berpisah dan yang semisalnya. Mengganti bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa yang paling mulia, dengan bahasa Inggris adalah haram. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi kebolehannya bahwa kadang-kadang hal itu bisa menjadi wajib. Walaupun aku tidak mempelajari bahasa Inggris namun aku berangan-angan mempelajarinya. terkadang aku merasa sangat perlu bahasa Inggris karena penterjemah tidak mungkin bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku secara sempurna.” (Kitabul ‘Ilmi).
Dan termasuk hal yang sangat menyedihkan, didapati seorang muslim begitu bangga jika bisa berbahasa Inggris dengan fasih namun mengenai bahasa Arab dia tidak tahu?? Kalau keadaannya sudah seperti ini bagaimana bisa diharapkan Islam maju dan jaya seperti dahulu. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami syari’at dengan benar kalau mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab…???
Hukum Orang Yang Mampu Berbahasa Arab Namun Berbicara Menggunakan Bahasa Selain Bahasa Arab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tu’jar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosululloh juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf: “Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja - gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Khurasan, yang penduduk kedua kota tersebut berbahasa Persia serta menduduki Maghrib, yang penduduknya berbahasa Barbar, maka kaum muslimin membiasakan penduduk kota tersebut untuk berbahasa Arab, hingga seluruh penduduk kota tersebut berbahasa Arab, baik muslimnya maupun kafirnya. Demikianlah Khurasan dahulu kala. Namun kemudian mereka menyepelekan bahasa Arab, dan mereka kembali membiasakan bahasa Persia sehingga akhirnya menjadi bahasa mereka. Dan mayoritas mereka pun menjauhi bahasa Arab. Tidak disangsikan lagi bahwa hal ini adalah makruh. (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Pengaruh Bahasa Arab Dalam Kehidupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Merupakan metode yang baik adalah membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab hingga anak kecil sekalipun dilatih berbahasa Arab di rumah dan di kantor, hingga nampaklah syi’ar Islam dan kaum muslimin. Hal ini mempermudah kaum muslimin urituk memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para salafush shalih. Lain halnya dengan orang yang terbiasa berbicara dengan satu bahasa lalu ingin pindah ke bahasa lain maka hal itu sangat sulit baginya. Dan ketahuilah…!!! membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, akhlak, agama. Orang yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbagus akhlak dan agamanya. Berbeda dengan orang yang pandai berbahasa Inggris (namun tanpa dibekali dengan ilmu agama yang baik), dia cenderung senang membaca buku berbahasa Inggris yang jelas kebanyakannya merupakan karya orang kafir. Sehingga mulailah ia mempelajari kehidupan orang kafir sedikit demi sedikit. Mau tidak mau iapun harus mempelajari cara pengucapan dan percakapan yang benar melalui mereka, agar dia bisa memperbagus bahasa Inggrisnya. Bisa jadi akhirnya ia pun senang mempelajari dan menghafal lagu-lagu berbahasa Inggris (yang kebanyakan isinya berisi maksiat) dan tanpa sadar diapun mengidolakan artis atau tokoh barat serta senang mengikuti gaya-gaya mereka. Akhlaknya pun mulai meniru akhlak orang barat (orang kafir), dan mengagungkan orang kafir serta takjub pada kehebatan mereka. Akhirnya, diapun terjatuh dalam tasyabbuh (meniru-niru) terhadap orang kafir, menganggap kaum muslimin terbelakang dan ujung-ujungnya dia lalai dari mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum Mempelajari Bahasa Arab
Syaikhul Islam Berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:
مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”
Dan pada riwayat lain, Beliau (Umar bin Khattab) berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Penutup
Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan Bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.
Sungguh sangat ironis dan menyedihkan, sekolah-sekolah dinegeri kita, bahasa Arab tersisihkan oleh bahasa-bahasa lain, padahal mayoritas penduduk negeri kita adalah beragama Islam, sehingga keadaan kaum muslimin dinegeri ini jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
Maka seyogyanya anda sekalian wahai penebar kebaikan… mempunyai andil dan peran dalam memasyarakatkan serta menyadarkan segenap lapisan masyarakat akan pentingya bahasa Al Qur’an ini, dengan segala kemampuan yang dimiliki, semoga Allah menolong kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasul-Nya yang shohih. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah ta’ala. Segala puji hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam.
Kesalahan Dalam Memanjangkan Dan Memendekkan Kata Dalam Bahasa Arab
Bahasa arab adalah bahasa yang luar biasa, bahasa yang memiliki kosakata yang sangat banyak, satu huruf dalam satu kalimat saja, apabila dihilangkan atau di tambahkan akan menimbulkan perubahan arti yang sangat jauh berbeda, cara pembacaan harakat yang salah maka akan menimbulkan makna yang jauh berbeda.
Di antara kesalahan yang terjadi pada sebagian kaum muslimin adalah ketika membaca salah satu surat dalam al-Qur’an yaitu surat al-kafirun, di antara ayatnya adalah:
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” (QS. Al-Kafirun: 2)
Ayat ini menunjukkan pengikraran kita sebagai seorang muslim, bahwa kita tidak akan menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir.
Sebagian kaum muslimin membaca ayat ini dengan memendekkan kata لاَ menjadi لَ . Mereka tidak tahu akibat yang di timbulkan karena perubahan ini sangat besar!!
Kata laa dengan memanjangkannya bermakna tidak (inilah yang benar) sedangkan kata la dengan memendekkannya bermakna sungguh-sungguh. (silakan lihat pembahasa pada macam-macam laa dan Macam-macam lam)
Kalau la dipendekkan, maka artinya berubah menjadi, “Aku benar-benar akan menyembah apa yang kamu sembah.” !?…. betapa berubahnya makna kalimat yang mulia ini ! bukankah dengan mengucapkannya malah ia terjatuh dalam ucapan kesyirikan?!
Contoh kalimat dalam al-Qur’an yang menggunakan la (dengan memendekkannya) adalah firman Allah dalam Surat az-Zumar,
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)
Kata la (dibaca pendek) pada kalimat “La in”, pada kalimat “La yahbathonna” dan “La takunanna” merupakan la yang bermakna taukid (penguatan), sehingga kalau diartikan secara bahasa kira-kira adalah, “Sungguh jika kamu mempersekutukanku (Allah), sungguh niscaya akan hapuslah amalanmu dan sungguh kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Pembaca sekalian yang di muliakan oleh Allah, coba perhatikan, berapa La penegas dalam kalimat di atas??. Tiga buah kata penegas!!. Belum lagi kalau nun taukid (yang juga merupakan huruf penegas) kita masukkan…
Faedah yang bisa kita ambil diantaranya adalah, betapa pentingnya mengenal kesyirikan dan perinciannya, dalam ayat ini Allah memperingatkan bahaya kesyirikan dengan sangat keras.
Faedah lainnya adalah betapa bahasa arab tidak bisa diungkapkan secara sempurna oleh bahasa lainnya. Seperti firman Allah di atas, kalau kita artikan dalam bahasa indonesia saja maka artinya seperti pada terjemahan pertama, padahal kalau ingin di ungkapkan secara lebih rinci maka artinya seperti pada terjemah yang kedua, dan arti kedua pun sesungguhnya belum mencerminkan pemahaman sempurna dari Firman Allah di atas.
Pemahaman bahasa seperti ini tidak akan bisa dirasakan kecuali jika menguasai bahasa arab, sepintar apapun penerjemah, dia akan kesulitan, bahkan tidak bisa untuk menerjemahkan bahasa arab ke bahasa lainnya dengan sempurna, karena sulitnya mencari kosakata yang sesuai, sulitnya mengungkapkan gaya bahasa arab dengan bahasa lainnya…
Karena itu pulalah mengapa sebagian para ulama mengatakan kalau mempelajari bahasa arab hukumnya adalah wajib, mereka mengambil kesimpulan ini dari kaidah,
مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Kalau kita tidak mungkin memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara sempurna kecuali dengan mempelajari bahasa arab, maka mempelajari bahasa arab hukumnya menjadi wajib, wallahu a’lam.
Kesalahan Dalam Memanjangkan Dan Memendekkan Kata Dalam Bahasa Arab
Bahasa arab adalah bahasa yang luar biasa, bahasa yang memiliki kosakata yang sangat banyak, satu huruf dalam satu kalimat saja, apabila dihilangkan atau di tambahkan akan menimbulkan perubahan arti yang sangat jauh berbeda, cara pembacaan harakat yang salah maka akan menimbulkan makna yang jauh berbeda.
Di antara kesalahan yang terjadi pada sebagian kaum muslimin adalah ketika membaca salah satu surat dalam al-Qur’an yaitu surat al-kafirun, di antara ayatnya adalah:
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” (QS. Al-Kafirun: 2)
Ayat ini menunjukkan pengikraran kita sebagai seorang muslim, bahwa kita tidak akan menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir.
Sebagian kaum muslimin membaca ayat ini dengan memendekkan kata لاَ menjadi لَ . Mereka tidak tahu akibat yang di timbulkan karena perubahan ini sangat besar!!
Kata laa dengan memanjangkannya bermakna tidak (inilah yang benar) sedangkan kata la dengan memendekkannya bermakna sungguh-sungguh. (silakan lihat pembahasa pada macam-macam laa dan Macam-macam lam)
Kalau la dipendekkan, maka artinya berubah menjadi, “Aku benar-benar akan menyembah apa yang kamu sembah.” !?…. betapa berubahnya makna kalimat yang mulia ini ! bukankah dengan mengucapkannya malah ia terjatuh dalam ucapan kesyirikan?!
Contoh kalimat dalam al-Qur’an yang menggunakan la (dengan memendekkannya) adalah firman Allah dalam Surat az-Zumar,
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)
Kata la (dibaca pendek) pada kalimat “La in”, pada kalimat “La yahbathonna” dan “La takunanna” merupakan la yang bermakna taukid (penguatan), sehingga kalau diartikan secara bahasa kira-kira adalah, “Sungguh jika kamu mempersekutukanku (Allah), sungguh niscaya akan hapuslah amalanmu dan sungguh kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Pembaca sekalian yang di muliakan oleh Allah, coba perhatikan, berapa La penegas dalam kalimat di atas??. Tiga buah kata penegas!!. Belum lagi kalau nun taukid (yang juga merupakan huruf penegas) kita masukkan…
Faedah yang bisa kita ambil diantaranya adalah, betapa pentingnya mengenal kesyirikan dan perinciannya, dalam ayat ini Allah memperingatkan bahaya kesyirikan dengan sangat keras.
Faedah lainnya adalah betapa bahasa arab tidak bisa diungkapkan secara sempurna oleh bahasa lainnya. Seperti firman Allah di atas, kalau kita artikan dalam bahasa indonesia saja maka artinya seperti pada terjemahan pertama, padahal kalau ingin di ungkapkan secara lebih rinci maka artinya seperti pada terjemah yang kedua, dan arti kedua pun sesungguhnya belum mencerminkan pemahaman sempurna dari Firman Allah di atas.
Pemahaman bahasa seperti ini tidak akan bisa dirasakan kecuali jika menguasai bahasa arab, sepintar apapun penerjemah, dia akan kesulitan, bahkan tidak bisa untuk menerjemahkan bahasa arab ke bahasa lainnya dengan sempurna, karena sulitnya mencari kosakata yang sesuai, sulitnya mengungkapkan gaya bahasa arab dengan bahasa lainnya…
Karena itu pulalah mengapa sebagian para ulama mengatakan kalau mempelajari bahasa arab hukumnya adalah wajib, mereka mengambil kesimpulan ini dari kaidah,
مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Kalau kita tidak mungkin memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara sempurna kecuali dengan mempelajari bahasa arab, maka mempelajari bahasa arab hukumnya menjadi wajib, wallahu a’lam.
Bahasa Arab Untuk Anak-Anak
Segala Puji bagi Allah ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Al-Qur’an adalah mukjizat paling agung yang menunjukkan akan benarnya risalah yang dibawa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan kalangan jin pun sampai kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Jinn,
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami.”. (Al-Jin [72]: 1-2)
Tak seorang pun yang mampu mendatangkan satu ayat pun yang semisal Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (QS. Al-Israa [17]: 88)
Allah ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu, membimbing para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dengan bahasa arab, begitupula generasi terbaik umat ini, mereka juga saling berkomunikasi dengan bahasa arab. Maka tidak mungkin bagi kita untuk bisa memahami dengan baik dua wahyu Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), sesuai dengan pemahaman yang benar dari para sahabat dan ulama-ulama yang berpegang teguh dengan tuntunan mereka kecuali dengan mempelajari bahasa arab.
Mempelajari bahasa arab adalah perkara yang amat penting. Sungguh sangat menyedihkan bahwa kebanyakan kaum muslimin berpaling dari mempelajari bahasa arab. Kebanyakan kaum muslimin sekarang lebih berbangga apabila bisa berbicara dengan bahasa asing, dengan bahasa inggris, jerman dan seterusnya, bahkan putra-putri mereka pun dididik dengan bahasa asing supaya tidak ketinggalan zaman, dan yang paling menyedihkannya adalah mereka sama sekali tidak berupaya agar putra-putri mereka mempelajari bahasa arab. Laa haula walaa quwwata illa billah…
Kalau keadaan kaum muslimin seperti ini, bagaimana akan tercetak generasi Islam yang cinta Allah dan Rasul-Nya? Bisa dibayangkan bila ini berlangsung terus akan menyebabkan mereka terombang ambing dalam gelombang syubhat dan syahwat. Bagaimana mungkin mereka akan mampu membela Islam dengan benar kalau aqidahnya rapuh, kalau mereka sendiri tidak di didik diatas tuntunan islam, di atas tuntunan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk para orang tua:
- Perhatikanlah pendidikan anak-anakmu. Janganlah kau terlantarkan pendidikan mereka, pendidikan yang paling penting bagi mereka adalah pengajaran aqidah yang benar, tanamkan aqidah tersebut pada benak mereka.
- Ajarkan mereka Al-Qur’an sejak dini. Bangkitkan kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an.
- Ajarkanlah mereka hadits-hadits dari Rasulullah, biasakan mereka untuk mendengar hadits-hadits tersebut.
- Perkenalkan putra-putri anda bahasa arab. Karena itu merupakan bahasa Al-Qur’an. Ajarkan sejak dini, sejak anak bisa berbicara maka latihlah dia untuk belajar bahasa arab.
- Karena mengajar anak di waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu. Sedikit demi sedikit. Ketika anak sudah paham nama-nama benda, ajarkan bahasa arabnya.
Misalnya ketika anak melihat ke langit maka kita ajarkan bahwa langit bahasa arabnya adalah “samaa’un”, kalau anak melihat buku maka kita ajarkan bahwa bahasa arabnya buku adalah “kitaabun”, kalau anak sedang memperhatikan tangannya, kita ajarkan bahwa bahasa arab tangan adalah “yadun” dan seterusnya. Dengan diperkenalkan dan melihat langsung wujud aslinya akan sangat membantu anak cepat hafal yang diajarkan.
Maka, marilah kita perkenalkan bahasa Arab sejak dini kepada anak-anak kita. Semoga kelak mereka menjadi anak yang bertakwa, cinta Al-Quran, cinta al-Hadits, menjadi salah satu penegak panji islam dan menjadi penduduk surga-Nya Allah ta’ala kelak, aamiin.
Kategori: Artikel
Ketika Kita Ingin Dilihat
Penyusun: Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar
Masya Allah, anti sudah hafal 5 juz ???
Hmmm…
Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai saudariku, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.
Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.
Kali ini, kita tidak hendak membahas tentang ikhlas melainkan salah satu lawan dari ikhlas, yaitu riya’.
Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata:
“Orang-orang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)
Maka saudariku muslimah, marilah kita mempelajari tentang riya’ agar kita terhindar dari kejelekannya.
Mari Kita Berbicara tentang Riya’
Secara bahasa, riya’ berasal dari kata ru’yah (الرّؤية), maknanya penglihatan. Sehingga menurut bahasa arab hakikat riya’ adalah orang lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”
Pernahkah ukhti mendengar tentang sum’ah? Sum’ah berbeda dengan riya’, jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka sum’ah berarti kita ingin ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan: “Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indera pendengaran (telinga) sedangkan riya’ berkaitan dengan indera penglihatan (mata).”
Jadi, jika seorang beramal dengan tujuan ingin dilihat, misalnya membaguskan dan memperlama shalat karena ingin dilihat orang lain, maka inilah yang dinamakan riya’. Adapun jika beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan Al Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini yang disebut sebagai sum’ah.
Bahaya Riya’
Ketahuilah wahai saudariku, bahwa riya’ termasuk ke dalam syirik asghar/kecil. Ia dapat mencampuri amal kita kemudian merusaknya.
Amalan yang dikerjakan dengan ikhlas akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana dengan amalan yang tercampur riya’? Tentu saja akan merusak pahala amalan tersebut. Bisa merusak salah satu bagiannya saja atau bahkan merusak keseluruhan dari pahala amalan tersebut.
Berikut ini beberapa bentuk riya’:
- Riya’ yang mencampuri amal dari awal hingga akhir, maka amalannya terhapus.
Misalnya seseorang yang hendak mengerjakan shalat lalu datang seseorang yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyu’ karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut ada dari awal hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk menghilangkannya, maka amalannya terhapus.
- Riya’ yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amal dan dia berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ ini tidak mempengaruhi pahala amalannya. Misalnya seseorang yang shalat kemudian muncul riya’ di tengah-tengah shalatnya dan ia berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ tersebut tidak mempengaruhi ataupun merusak pahala shalat tersebut.
- Riya’ muncul tiba-tiba di tengah-tengah namun dibiarkan terus berlanjut, maka ini adalah syirik asghar dan menghapus amalannya. Namun dalam kondisi ini ulama berselisih pendapat tentang amalan mana yang terhapus, misalnya riya’ dalam shalat. Apakah rakaat yang tercampuri riya’ saja yang terhapus ataukah keseluruhan shalatnya?
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang terhapus hanyalah pada amalan yang terkait. Pendapat kedua, yaitu perlu dirinci:
- Kalau amalannya merupakan satu rangkaian dan tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain, misalnya shalat dhuhur empat rakaat, maka terhapus rangkaian amal tersebut.
- Kalau amalannya bukan merupakan satu rangkaian, maka amal yang terhapus pahalanya adalah sebatas yang tercampuri saja. Misalnya seseorang yang bersedekah kepada sepuluh orang anak yatim. Saat bersedekah pada anak kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi riya’ muncul saat ia bersedekah pada anak ke-enam, maka pahala yang terhapus adalah sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang serupa adalah puasa.
Riya’ itu Samar
Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar dan tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.
Saudariku, pernahkah engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara langkahnya begitu samar bahkan tidak dapat kita dengar. Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesamaran riya’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada selain Allah?” maka beliau bersabda.”Bagaimana engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (HR Abu Ya’la Al Maushili dalam Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari, cetakan pertama, tahun 1408 H, Muassasah Ulum Al Qur’an, Beirut, hlm 1/61-62. dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Targhib, 1/91)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umat Islam melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal. Disebutkan dalam sabda beliau: “Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal.” Kami menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan shalatnya karena ia melihat ad seseorang yang memandangnya.”
Hal ini tidak akan terjadi, kecuali karena faktor pendukung yang kuat. Yaitu karena setiap manusia memiliki kecenderungan ingin mendapatkan pujian, kepemimpinan dan kedudukan tinggi di hadapan orang lain.
Bentuk Riya’
Wahai ukhti muslimah, didalam mencapai tujuannya, para mura’i (orang yang riya’) menggunakan banyak jalan, diantaranya sebagai berikut:
- Dengan tampilan fisik, yaitu seperti menampilkan fisik yang lemah lagi pucat dan suara yang sangat lemah agar dianggap sebagai orang yang sangat takut akhirat atau rajin berpuasa.
- Dengan penampilan, yaitu seperti membiarkan bekas sujud di dahi dan pakaian yang seadanya agar tampil seperti ahli ibadah. Ketika menjelaskan QS Al Fath, dalam Hasyiah Ash Shawi 4/134 disebutkan, “Yang dimaksud ‘bekas sujud’ bukanlah hitam-hitam di dahi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang ingin riya’ karena hitam-hitam di dahi merupakan perbuatan khawarij.”
- Dengan perkataan, yaitu seperti banyak memberikan nasehat, menghafal atsar (riwayat salaf) agar dianggap sebagai orang yang sangat memperhatikan jejak salaf.
- Dengan amal, yaitu seperti memperlama rukuk dan sujud ketika shalat agar tampak khusyu’ dan lain-lain.
Kiat Mengobati Penyakit Riya’
Wahai saudariku, setiap insan tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang pernah dilakukannya.
Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Hanya kepada Allahlah kita memohon agar hati kita diteguhkan dalam agama ini. َ
Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar dari penyakit riya’. Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari riya’:
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya’
Riya’ adalah penyakit kronis dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan riya’, sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta’ala untuk menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk mengobati riya’, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya’ dan sum’ah. Demikian yang diajarkan Rasulullah dalam sabda beliau:
“Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab, “Katakanlah:
اللّهُمَّ إِنَّانَعُوْذُبِكَ مِنْ أََنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًانَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ
‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui.’” (HR. Ahmad)
2. Mengenal riya’ dan berusaha menghindarinya
Kesamaran riya’ menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui dan mengenal dengan baik riya’ dan penyebabnya. Selanjutnya, berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang itu terjangkit penyakit riya’ disebabkan ketidaktahuan dan adakalanya karena keteledoran dan kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia dan akhirat
Duhai saudariku di jalan Allah, sifat riya’ tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan memberikan madharat yang banyak di dunia dan akhirat. Riya’ dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah. Sehingga seseorang yang riya’ akan mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang riya’ adalah dengan menyembunyikan amalan. Hal ini dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang dilakukan tidak tercampuri riya’. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah. Sedangkan amalan yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman dari riya’. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman dan keyakinan mereka.
5. Latihan dan mujahadah
Saudariku, ini semua membutuhkan latihan yang terus menerus dan mujahadah (kesungguhan) agar jiwa terbina dan terjaga dari sebab-sebab yang dapat membawa kepada perbuatan riya’ bila tidak, maka kita telah membuka pintu dan kesempatan kepada setan untuk menyebarkan penyakit riya’ ini ke dalam hati kita.
Belajar dari Para Salaf
Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri dari riya’ dan sum’ah. Mereka tidak menginginkan ketenaran dan popularitas. Justru sebaliknya, mereka ingin agar tidak terkenal. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka terkena ujub (bangga diri).
Abu Zar’ah yahya bin Abu ‘Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar untuk memohon hujan bersama-sama dengan orang-orang, tapi ternyata hujan tidak turun dan beliau juga tidak melihat awan. Beliau berkata: “Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?” (dalam satu riwayat: tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya lagi: “Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau mendengar, saya sangat berharap beliau berdiri.”) “Ini saya”, seru Yazid. “Berdirilah dan tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.”, kata Adh-Dhahhak bin Qais. Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan kepala sebatas bahu serta menyingsingkan lengan baju beliau kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.” Beliau berdoa tiga kali dan seketika itu pula turunlah hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi banjir. Kemudian beliau pun berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat saya dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini.” Kemudian hanya berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa itu beliau pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fasawi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
(*) Dalam keadaan ini, meminta perantara dalam berdo’a diperbolehkan, karena Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi yang menjadi perantara masih dalam keadaan hidup, dan beliau adalah seorang yang shaleh. Bedakan dengan keadaan orang-orang yang berdo’a meminta kepada orang yang dianggap shaleh yang sudah meninggal dunia di kubur-kubur mereka! dan ini merupakan Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di neraka jika belum bertaubat. -ed
Berkata Hammad bin Zaid rahimahullah: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran dan bertanya-tanya kenapa beliau sampai berbuat seperti ini (berputar-putar melewati beberapa jalan). Ternyata beliau berbuat seperti itu karena beliau tidak mau orang-orang mengenal beliau dan berkata: ‘Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan lainnya).
Hammad berkata lagi: “Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang lebih jauh, maka sayapun berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’ Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh mereka dengan jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang lainnya. Dia berkata: ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fawasi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya’. Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Innamal ‘ilmu ‘indallah. Wa’allahu a’lam.
Maraji’:
- Terjemah Sittu Duror, Landasan Membangun Jalan Selamat. ‘Abdul Malik Ahmad Ramdhani. Media Hidayah. Cetakan pertama. 2004.
- Mutiara Faidah Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi. Abu ‘Isa ‘Abdullah bin Salam. Cetakan pertama. LBIA Al Atsary.
- Majalah As-Sunnah edisi 05/ VIII/ 1425H/ 2004M.
Ambillah Aqidahmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (4): Syirik Akbar
Oleh: Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu
Soal 1:
Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?
Jawab 1:
Dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, wahai anakku janganlah kamu mempersekutukan (syirik) kepada Allah dan sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling besar.” (Terj. Luqman: 13)
Dan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya:
أي الذنب أعظم? قال أن تجعل لله ندا وهو خلقكز
Artinya: “Dosa apa yang palng besar? Beliau berkata: (Yaitu) kamu mengadakan tandingan bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim)
Kata نِدًّا (tandingan) pada hadits tersebut bermakna “sekutu”.
Soal 2:
Apakah syirik akbar itu?
Jawab 2:
Syirik Akbar (besar) adalah beribadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah, meminta berkah (keberuntungan, syafa’at, perlindungan dan lain-lain) kepada orang yang mati atau masih hidup tapi tidak berada di tempat orang yang meminta (tidak ada di dekatnya).
Firman Allah:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
Artinya: “Beribadahlah kepada Allah dan jangan kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apapun.” (Terj. An-Nisa’: 36)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من أكبر الكبائر الشرك بالله
Artinya: “Diantara dosa-dosa besar yang paling besar adalah berbuat syirik kepada Allah.” (Hadits riwayat Bukhari)
Soal 3:
Apakah syirik itu bercokol pada umat sekarang ini?
Jawab 3:
Benar, dalilnya adalah firman Allah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
Artinya: “Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali mereka dalam keadaan berbuat syirik.” (Terj. Yusuf: 106)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين، و حتى تعبد الأوثان
Artinya: “Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga segolongan besar dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan ikut menyembah berhala.” (Hadits shohih riwayat Tirmidzi)
Soal 4:
Apa hukum berdo’a kepada orang yang mati atau ghaib?
Jawab 4:
Berdo’a kepada orang yang mati atau ghaib itu termasuk syirik akbar, sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah sesuatu yang tidak memberimu manfaat dan memberimu madharat; sebab jika kamu melakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Terj. Yunus: 106)
Yang dimaksud الظَّالِمِينَ (orang-orang yang zhalim) dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang musyrik.
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من مات وهو يدعو من دون الله ندا دخل النار
Artinya: “Barangsiapa yang mati sedang dia menyeru atau berdo’a kepada tandingan selain Allah, pasti dia masuk neraka.” (hadits shohih riwayat Bukhari)
Soal 5:
Apakah do’a itu ibadah?
Jawab 5:
Ya, do’a itu ibadah, sebagaimana firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya: “Berdo’alah kepada-Ku akan kupenuhi permintaanmu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (Terj. Ghafir: 60)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدعاء هو العبادة
Artinya: “Do’a itu ibadah.” (Hadits shohih riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits tersebut hasan shohih)
Soal 6:
Apakah orang mati itu bisa mendengarkan do’a?
Jawab 6:
Mereka tidak bisa mendengar, dalilnya firman Allah:
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.” (Terj. An-Naml: 80)
وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Terj. Faathir: 22)
***
Artikel www.muslimah.or.id
Vegetarian Dalam Timbangan Islam
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Mengurangi lemak dengan tidak memakan daging hewan mungkin memang dibutuhkan untuk beberapa orang yang terkena penyakit kolesterol tinggi. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar mengaku sebagai vegetarian sehingga mereka menghilangkan menu daging hewan secara total dari pola makan mereka? Mereka berdalih karena rasa kasihan terhadap para hewan, tidak tega dengan perlakuan para penyembelih hewan dan yang semacamnya. Yang lebih parah lagi, pada akhirnya mereka menolak berbagai bahan makanan yang berasal dari hewan, baik itu susu, telur, keju dan yang semacamnya. Sebabnya? Karena untuk pemerahan susu dikatakan hewan diperlakukan semena-mena, telur itu adalah cikal bakal anak hewan yang patut untuk hidup, atau kalimat-kalimat semacamnya. Dengan usaha keras mereka mempertahankan status vegetarian dengan menonton film yang memang dibuat untuk memperkuat ‘keimanan’ mereka akan apa yang mereka lakukan. Mudah-mudahan ukhti muslimah tidak ada yang ingin ikut-ikutan dengan apa yang mereka lakukan. Mengapa? Coba simak penjelasannya secara syari’at.
Dalam sebuah kaedah fikih, semua yang merupakan masalah adat, seperti makan, minum, pakaian, maka semuanya adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Berbeda dengan masalah ibadah yang pada dasarnya semua ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Oleh karena itulah kita tidak bisa sembarangan dalam melakukan ibadah, karena kita harus mengetahui bahwa hal tersebut benar diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kembali ke masalah makanan, seperti dikatakan tadi, pada dasarnya, memakan suatu makanan seluruhnya adalah halal sampai ada dalil syar’i yang menjelaskan bahwa makanan itu haram. Misalnya, kita diharamkan untuk memakan tikus, kodok, binatang yang bertaring atau binatang yang bercakar yang cakarnya itu digunakan untuk memangsa.
Lalu, bagaimana dengan ayam, sapi, kambing dan yang lainnya yang tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa itu adalah haram. Tentu saja jawabannya itu adalah boleh untuk dimakan. Dan tidaklah mereka diciptakan itu melainkan sebagai nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-Nya yang membutuhkan energi dalam melakukan aktifitas untuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al Maidah [5]: 88)
Jika hewan yang disembelih saja boleh untuk dimakan, maka terlebih lagi susu atau telur yang dihasilkan oleh hewan tersebut. Bahkan susu juga termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An Nahl [16]: 66)
Sebab Lain Terlarangnya Menjadi Seorang Vegetarian
Walau telah jelas dalil-dalil tentang tidak haramnya binatang ternak, ada baiknya kita juga mengetahui alasan lain mengapa menjadi seorang vegetarian juga termasuk hal besar yang terlarang dalam agama.
1. Dapat dihukumi keluar dari Islam (kafir)
Hal ini dikarenakan seorang vegetarian telah mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, seorang vegetarian telah membuat hukum baru yang bertentangan dengan syari’at. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاءَكُمُ الَّذِينَ يَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هَذَا فَإِنْ شَهِدُوا فَلا تَشْهَدْ مَعَهُمْ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَالَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَهُمْ بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
Katakanlah: “Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini.” Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa hafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Rabb mereka. (QS. Al-An’am 6:150)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan tafsir ayat ini, bahwa ada dua kemungkinan ketika seseorang diminta untuk mendatangkan dalil/alasan ketika mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Kemungkinan pertama adalah mereka tidak dapat mendatangkan dalil. Hal ini menunjukkan batilnya apa yang mereka serukan.
Kemungkinan kedua bahwa mereka mendatangkan alasan yang merupakan kedustaan. Tentu saja persaksian mereka ini tidak diterima. Dan ini bukanlah termasuk perkara dimana sah seorang yang adil untuk bersaksi dengannya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kita untuk tidak mengikuti persaksian mereka. (Taisirul Karimirrohman)
2. Membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama
Hal ini terutama jika pengkhususan memakan makanan hanya dari yang berupa sayuran tersebut disandarkan kepada agama. Atau dengan kata lain menjadikannya sebagai sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menyerupai Orang Kafir
Tahukah ukhti muslimah, bahwa banyak sekali hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk menyelisihi orang kafir? Sampai-sampai ada seorang Yahudi yang mengatakan,
“Apa yang diinginkan laki-laki ini? Tidak ada satupun urusan kita kecuali ia pasti menyelisihi kita di dalamnya.” (HR. Muslim)
Ukhti muslimah juga tentu telah mengetahui, bahwa para biksu Budha adalah orang yang sangat teguh untuk tidak memakan daging. Mereka hanya mau makan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Maka yang benar, seharusnya sebagai muslimah kita tidak ikut-ikutan menjadi seorang vegetarian, bahkan berusaha menyelisihi para biksu (orang-orang kafir) tersebut.
4. Mengingkari nikmat Allah
Daging, susu, telur atau hasil makanan lain yang didapatkan merupakan kenikmatan yang Allah berikan pada hamba-Nya.
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al Maidah [5]: 88)
5. Mengingkari hukum yang Allah tetapkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitahukan cara untuk dapat memakan daging dari binatang ternak dengan cara menyembelihnya. Dan tidaklah apa yang Allah perintahkan melainkan sebuah kebaikan. Maka adalah suatu kesalahan ketika seorang vegetarian tidak memakan daging karena rasa kasihan melihat binatang ternak ketika disembelih menggelepar-gelepar, mengejang dan meregangkan otot, bahkan menyatakan itu tidak berperikemanusiaan (atau tidak berperikebinatangan?). Sekali lagi perlu kita ingatkan, bahwa tidaklah apa yang Allah perintahkan dan tentukan merupakan kebaikan walaupun mungkin kita belum mengetahui hikmahnya.
Alhamdulillah, tentang menyembelih hewan terdapat terdapat hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Schultz & Dr. Hazim yang keduanya adalah Animal Scientists dari Hanover University – Jerman, yang menunjukkan bahwa hewan yang disembelih tidak merasakan rasa sakit. Hal ini dikarenakan pisau tajam yang mengiris leher ‘tidaklah menyentuh’ saraf rasa sakit. Sehingga reaksi menggelepar, meregang otot dan lainnya hanyalah ekspresi ‘keterkejutan otot dan saraf’ saja (saat darah mengalir keluar dengan deras). Dan bukan ekspresi rasa sakit! (Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P).
Berbeda dengan apa yang orang-orang kafir lakukan dimana mereka mematikan hewan dengan cara dipukul terlebih dahulu dengan alat pemingsan (Captive Bolt Pistols) baru kemudian disembelih. Alasan mereka adalah agar hewan tersebut tidak kesakitan ketika disembelih dan daging tetap bagus karena hewan jatuh dengan pelan. Apalah artinya logika manusia dibandingkan dengan Allah yang Maha Mengetahui. Ternyata dari hasil penelitian tersebut, hewan yang dimatikan dengan cara tersebut segera merasakan rasa sakit setelah dipingsankan bahkan hasil dagingnya tidak sehat untuk konsumen.
Demikianlah syari’at menjelaskan tentang makanan yang berasal dari binatang ternak. Janganlah tertipu dengan akal kita yang menilai sesuatu hanya berdasarkan penglihatan lahir dan perasaan semata. Sudah kehilangan kenikmatan dunia berupa makanan lezat, merugi pula di akhirat karena berbuat dosa. Na’udzu billah min dzalik.
Maraji’:
- Jilbab Wanita Muslimah, Syaikh Nashiruddin Al Albani.
- Taisirul Karimirahman, Syaikh Abdurrahman As Sa’di.
- Fadhilah IPTEK - Islam: Trying to be The Real Moslem, Nanung Danar Dono, S.Pt, M.P