Kamis, 16 April 2009

Telaah Mushaf Kuno Nusantara

y Aly Imron Januari 10, 2009 Post a comment

Ditulis oleh Ali Akbar dengan judul asli: “Menggali Khazanah Kaligrafi Nusantara.” dengan sub judul: “Telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno.”

Di Indonesia, sejauh yang diketahui sampai saat ini, Mushaf yang paling kuno ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H (1597 M) di Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan naskah tertua empat abad lebih yang lalu itu, diperkirakan kegiatan penyalinan Alquran di Nusantara telah berlangsung sejak saat itu, atau satu atau dua abad sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ulama-ulama di berbagai kota lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Selain Maluku Utara, pusat-pusat Islam masa lalu, di antaranya Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Madura, Lombok, Banjarmasin, dan lain-lain. Di kota dan daerah-daerah tersebut Mushaf tua ditemukan dalam jumlah cukup banyak, baik tersimpan di museum maupun tersebar di masyarakat.

Motivasi yang mendorong umat Islam untuk menyalin Mushaf adalah, pertama, karena Alquran merupakan pedoman hidup Muslim, dan kedua, karena semangat mengajarkannya, atau dakwah.

Membaca Alquran bagi setiap Muslim merupakan ibadah, mereka akan selalu berusaha untuk mengulang baca, dan mempelajari isinya. Oleh karena itu, setiap Muslim merasa perlu memiliki salinan Alquran, baik lengkap, atau surah-surah tertentu yang dianggap istimewa, seperti Yasin, atau surat-surat pendek dalam juz 30.

Memperhatikan Mushaf-mushaf kuno di berbagai tempat, sangat sedikit yang menuliskan kolofon, yang biasanya berisi data penulis, pemesan, dan waktu penulisan. Ketiadaan kolofon ini menyulitkan pengkaji Mushaf, karena tidak mudah untuk memperkirakan masa penulisannya. Penyalinan Mushaf pada awalnya banyak dilakukan oleh para ulama, kiai, atau santri di pesantren-pesantren di berbagai daerah di Nusantara.

Menurut Mahmud Buchari, Mushaf-mushaf monumental di Indonesia pada umumnya ditulis oleh ulama-ulama terkenal, misalnya Mushaf Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin, Mushaf Syekh Nawawi al-Bantani dari Banten, Mushaf Diponegoro, dan Mushaf Amangkurat I dari Jawa Tengah. Namun tampaknya tokoh-tokoh tersebut tidak selalu yang menulis Mushaf secara langsung, melainkan sebagai pemilik atau pemesan. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 dan 17 M, Makkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa para penyokong seni Islam, termasuk yang terpenting Mushaf, adalah para raja atau elite penguasa. Keterlibatan raja dalam penyalinan Mushaf telah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Islam, dan para khalifah selalu menjadi pelindung yang paling penting.

Di Indonesia demikian pula, para sultan atau bangsawan menjadi pemrakarsa penyalinan Mushaf, seperti di Palembang, Surakarta, dan Yogyakarta. Penyalinan Alquran yang disponsori oleh kerajaan pada umumnya bersifat monumental, baik dari segi kaligrafi maupun iluminasinya.

Iluminasinya biasanya berlatarkan emas, dengan detail penggarapan yang baik, mementingkan segi keindahan Mushaf. Sementara, Mushaf yang dibuat oleh masyarakat Islam pada umumnya, termasuk kalangan pesantren, bersifat sederhana, atau amat sederhana, karena fungsinya berbeda. Mushaf bagi kalangan ini adalah untuk dibaca atau untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu, baik kertas, iluminasi maupun kaligrafinya jauh lebih sederhana.

Ragam Gaya Kaligrafi

Ragam kaligrafi yang terdapat dalam naskah –seperti halnya dalam epigrafi (tulisan pada batu) yang telah dikaji Hasan M. Ambary– memperlihatkan dua kecenderungan, yaitu (1) adanya anasir kebudayaan asing, dan (2) pengembangan kreativitas lokal.

Dalam perkembangannya, karya-karya kaligrafi Nusantara, dalam berbagai media ekspresi seni, berhasil menyerap unsur budaya setempat. Dalam konteks penulisan Mushaf kuno Nusantara, dua karakter hasil transfomasi budaya, yaitu Mushaf yang memperlihatkan kuatnya anasir budaya asing, dan Mushaf yang merupakan hasil pengembangan kreativitas lokal, keduanya tampak cukup jelas.

Unsur-unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat terlihat misalnya dalam “kaligrafi floral”, suatu karakter kaligrafi yang bermotif tumbuh-tumbuhan yang sangat khas. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan pada kepala-kepala surah.

Sebuah Mushaf yang cukup mewah dari Palembang memperlihatkan dengan jelas unsur tradisi Mushaf Turki Usmani, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Kaligrafi Naskhi yang digunakan dalam Mushaf ini sangat dekat dengan gaya Naskhi yang dituliskan pada Mushaf-mushaf Turki sezaman. Namun Mushaf seperti itu tidak banyak, dimungkinkan karena hubungan antarkesultanan; dan yang paling banyak, menyebar di berbagai daerah, adalah Mushaf dengan “citarasa” lokal, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Hal ini memperlihatkan apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap budaya lokalnya, sehingga menumbuhkan kreativitas yang warna-warni.

Kaligrafi dalam Mushaf secara umum terdiri atas empat bagian: (1) kaligrafi teks (nash) Alquran, (2) kaligrafi nama-nama surah, (3) kaligrafi teks pias (pinggir halaman), berupa tulisan juz, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah; dan (4) kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran, berupa doa-doa, daftar surah, dan kolofon. Masing-masing bagian tersebut memiliki ciri khas penulisan tersendiri, dan gaya kaligrafi yang dipakai berbeda-beda. Para pekerja Mushaf mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan fungsi masing-masing bagian di atas.

(1) Kaligrafi teks Alquran

Gaya kaligrafi yang paling banyak dipakai untuk bagian utama Alquran ini adalah Naskhi, dan jarang sekali yang menggunakan gaya lain. Ini tentu saja dapat dimengerti, karena Naskhi merupakan gaya yang paling mudah dibaca, dan fungsi Mushaf pertama-tama adalah untuk dibaca.

Mengamati beberapa Mushaf yang ada, gaya Naskhi yang tertulis dalam Mushaf-mushaf dari berbagai daerah di Nusantara pada umumnya sederhana atau sangat sederhana. Gaya Naskhi di sini bukanlah Naskhi dengan kaidah penulisan yang baku seperti yang telah dirumuskan oleh ahli kaligrafi (khattat), namun suatu gaya Naskhi yang bebas, sesuai style masing-masing penyalin.

Dari banyak Mushaf kuno yang telah dikaji, gaya Naskhi yang paling baik kualitasnya. Sementara gaya kaligrafi yang lain tidak ditemui adalah sebuah Mushaf dari Palembang, milik keluarga ahli waris kesultanan Palembang. Naskah ini sangat mirip dengan Mushaf Turki, baik iluminasi dengan latar emasnya yang mewah, maupun kaligrafinya. Gaya Naskhi yang dipakai adalah gaya Turki, namun dengan penguasaan pena yang masih kurang sempurna.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa naskah ini merupakan satu-satunya Mushaf yang telah berusaha menuliskan huruf Arab dengan benar, sesuai kaidah baku yang telah dirumuskan oleh para kaligrafer pendahulu di Timur Tengah.

Dapat dipastikan, penyalin Mushaf ini telah mendapatkan pendidikan menulis kaligrafi dengan baik. Hal itu tampak dari olahan hurufnya yang sangat kreatif, meskipun masih dengan detail yang kurang baik. Konsistensi penulisannya, dari awal hingga akhir Mushaf, juga mengagumkan. Keseluruhan teksnya, termasuk penulisan kepala-kepala surah, menggunakan Naskhi, sesuatu yang sangat lazim dalam Mushaf-mushaf Turki.

Sesuatu yang menarik dicermati pula dalam Mushaf ini adalah penggunaan “hurf at-taj” (huruf mahkota) berupa tanda lengkung pada setiap huruf ba Basmalah. Hurf at-taj (huruf mahkota) pada ba Basmalah dalam Mushaf dari Palembang hurf at-taj (huruf mahkota) di sini berfungsi sebagai penanda awal surah.

Abjad Arab tidak memiliki huruf kapital (huruf besar), oleh karena itu, penggunaan tanda lengkung pada ba Basmalah adalah untuk menandai permulaan surah, secara lebih tegas. Penandaan seperti ini tidak ditemukan pada Mushaf lain.

Pada Mushaf-mushaf lain, penandaan awal surah pada umumnya menggunakan penulisan ta pada kata ayat dan Makkiyah/Madaniyyah yang dipilin-pilin sedemikian rupa akan dibicarakan dalam subbagian berikut.

Selain Mushaf Palembang ini, penulisan Mushaf-mushaf yang lain praktis tanpa mengindahkan kaidah baku kaligrafi Arab yang telah menjadi pegangan umum para penulis Mushaf dan naskah-naskah keagamaan selama berabad-abad. Di sini tampak bahwa kaligrafi Arab di Nusantara “jatuh” ke tingkat individu, tidak pada tingkat yang lebih tinggi misalnya, ada suatu kaidah umum.

Jika dibandingkan dengan Mushaf-mushaf dunia Islam lain, misalnya Turki, Mesir, Irak, dan Iran yang demikian indah kaligrafinya, kualitas kaligrafi Mushaf Nusantara dapat dikatakan rendah, atau “jarang [yang] sampai ke tingkatan seni”.

Di Timur Tengah, gaya yang lazim pula dipakai, selain Naskhi, adalah Muhaqqaq, suatu gaya yang biasanya dipakai untuk Mushaf-mushaf kesultanan yang monumental.

Gaya Naskhi selalu dipakai oleh para penyalin Mushaf karena gaya ini paling sederhana penulisannya, dan paling mudah dibaca. Para kaligrafer Nusantara pada umumnya menyalin Alquran terutama untuk keperluan pengajaran. Dalam hal itu, tentu yang dibutuhkan adalah Alquran yang sederhana, mudah dibaca.

Adapun Mushaf-mushaf yang indah dan monumental, pada umumnya dibuat di keraton, dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya untuk mengukuhkan kekuasaan. Meskipun demikian, kaligrafi yang digunakan adalah Naskhi pula, dan tidak menggunakan gaya lain yang monumental. Hal terakhir ini, mungkin dikarenakan tenaga terampil dalam bidang kaligrafi sangat terbatas.

Beberapa gaya Naskhi dalam Mushaf kuno yang mengikuti “selera” penyalinnya sendiri, dapat dilihat dalam banyak Mushaf yang ada. Gaya Naskhi pada Mushaf-mushaf dengan bahan kertas dluwang tampak lebih sederhana, karena Mushaf tersebut memang tidaklah dibuat untuk memenuhi rasa keindahan, tetapi hanya untuk pengajaran, terutama di pesantren-pesantren.

Kertas dluwang banyak digunakan untuk menulis teks-teks keagamaan di pesantren-pesantren, karena harganya lebih murah daripada kertas Eropa, dan dapat diproduksi secara manual.

Dalam penulisan nash Alquran, sesuatu yang dapat dikatakan unik, adalah ekor ayat-ayat sisa yang dituliskan di kepala surah selanjutnya. Hal ini menjadi gejala umum, dan terdapat pada Mushaf-mushaf dari Palembang, Pakanbaru, Mataram, Surabaya, dan Demak. Hal ini juga terdapat pada Mushaf kuno Timur Tengah, namun tidak ditemukan lagi pada Mushaf-mushaf “modern”. Sisa-sisa ayat sebuah surah yang dituliskan di kepala berikutnya: Sebuah Mushaf dari Palembang. Model seperti ini terdapat di berbagai daerah.

(2) Kaligrafi kepala surah

Bagian ini sangat menarik perhatian. Para penyalin dan seniman mencurahkan segala kemampuan untuk memperindah bagian ini, karena sangat menentukan keindahan Mushaf. Gaya kaligrafi yang dipakai untuk bagian ini sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan kreativitas penyalin, yang bisa jadi bekerja sama dengan para iluminator atau pelukis khusus.

Sesuatu yang perlu dicatat secara khusus pada bagian ini adalah penulisan huruf ta marbutah pada kata ayat atau Makkiyyah yang dipilin-pilin, kadang-kadang sangat eksploitatif. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat unik dalam Mushaf kuno Nusantara, dan terdapat di Mushaf dari berbagai daerah, yaitu Palembang, Surakarta, Sumedang, Pakanbaru, Mataram, Makassar, Surabaya, dan Demak.

Mengingat fenomena ini terdapat di Mushaf dari berbagai kota di beberapa pulau, tampaknya hal itu merupakan fenomena umum yang terdapat pula di kota-kota lain di Nusantara.

Fungsi dari “eksploitasi” huruf seperti itu sangat jelas, yaitu sebagai tanda awal surah. (Dalam Mushaf dari Demak, dengan bentuk yang lebih sederhana, ditulis untuk setiap akhir ayat Surah al-Ghasyiyah).

Dalam tradisi Mushaf di Timur Tengah, eksploitasi huruf seperti itu untuk fungsi yang sama tidak terlihat. Adapun dalam tradisi kaligrafi, huruf ta marbutah dalam kata sanah kadang-kadang ditulis dengan penggayaan tertentu, namun bentuk finalnya hanya sederhana saja. Kata “sanah” dalam tradisi kaligrafi Islam. Dalam teks-teks kitab, bentuk penandaan bab baru dengan mengeksploitasi huruf tertentu juga terlihat. Kata “fasal” atau “kitab” yang menandai awal pembicaraan baru, sekaligus sebagai pemisah pembicaraan sebelumnya, mendapatkan perlakuan khusus, dengan digayakan sedemikian rupa, bergantung pada kreativitas penyalinnya. Kata “fasal”, “masalah”, dan “kitab” sebagai penanda awal bab kitab keagamaan: naskah koleksi Mesjid Agung Surakarta.

Dalam tradisi sastra Jawa, penandaan bab baru dengan bentuk pilinan seperti di atas juga dikenal. Dalam hal ini belum jelas, siapakah yang mempengaruhi dan siapakah yang dipengaruhi. Namun, itu menunjukkan bahwa tradisi tulis Islam sangat dekat, dan berinteraksi, dengan tradisi lokalnya.

Keunikan lain dalam penulisan kepala surah Mushaf kuno Nusantara adalah penggunaan “kaligrafi floral”, seperti yang terlihat jelas dalam Mushaf Palembang dan Makassar. Dalam tradisi kaligrafi Islam, biasanya huruf adalah huruf, meskipun berlatarkan ornamen floral. Eksistensinya tetap berbeda. Namun yang terlihat dalam Mushaf dari Palembang dan Makassar –sangat mungkin juga Mushaf dari kota-kota lain– adalah sesuatu yang unik: huruf melebur, “menjadi” ornamen floral dalam arti yang sebenarnya.

Bentuk kaligrafi ini juga menunjukkan peleburan huruf Arab (baca: Islam) dalam tradisi lokal masyarakat lingkungannya, suatu adaptasi yang unik. “Kaligrafi floral” dalam kepala surah Mushaf dari Palembang dan Makassar.

(3) Kaligrafi teks pias

Teks pias (bagian tepi halaman) berupa tulisan juz, sisipan teks Alquran yang kurang, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah. Sesuatu yang diistimewakan pada bagian ini adalah penulisan juz, nisf, dan rubu’.

Untuk menandai bagian-bagian penting Alquran itu biasanya ditulis dengan gaya tsuluts, atau huruf outline. Gaya tsuluts yang ada dapat dikatakan sederhana saja, dengan penguasaan pena yang kurang baik. Namun kekurangan dalam anatomi huruf ini biasanya ditutupi oleh keindahan ornamen yang mengelilingi huruf itu, atau oleh warna emasnya.

Dalam tradisi Mushaf kuno Nusantara, gaya kaligrafi tsuluts jarang dipakai, dan bentuknya tidaklah mengalami pengayaan yang berarti. Penegasan tanda-tanda bagian penting Mushaf itu biasanya dengan tinta merah atau emas, dengan latar ornamen yang menarik, dan lain-lain, agar mudah tertangkap oleh mata, di samping untuk menambah keindahan.

(4) Kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran (doa-doa, daftar surah, dan kolofon)

Dalam Mushaf-mushaf kuno Nusantara, bagian ini merupakan sesuatu yang langka. Pada umumnya, Mushaf hanyalah teks Alquran saja, dan tidak memuat teks selain itu. Bahkan doa khatam Alquran juga langka –meskipun bisa jadi karena faktor usia sehingga sobek dan hilang.

Pada bagian ini kaligrafi yang dipakai beragam. Saya ingin mengambil contoh sebuah Mushaf dari Palembang yang selesai ditulis tahun 1848. Doa dan daftar surah ditulis dalam gaya Naskhi, sedangkan kolofon ditulis dalam gaya tulisan khas Jawi yang “Naskhi menjelang Ta’liq”, seperti dikatakan oleh Yasin Hamid Safadi. Gaya tulisan Jawi memang dekat dengan karakter Ta’liq (Farisi), namun tidak semua kaidah Ta’liq ditaati.

Huruf sin yang menjulur merupakan karakter Ta’liq yang paling kuat. Demikian pula huruf kaf, dan posisi penulisan huruf yang condong ke kanan.

Kaligrafi sebagai Iluminasi

Membincangkan kaligrafi dalam Mushaf kuno Nusantara, hal lain yang menarik adalah kaligrafi yang menjadi iluminasi Mushaf. Contoh yang baik mengenai pokok ini adalah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat. Pada iluminasi Ummul Quran, Nisful Quran, dan Khatmul Quran (bagian awal, tengah, dan akhir Alquran) terdapat iluminasi yang sama, berupa olahan kaligrafi, dan gambar suatu makhluk hidup berupa sejenis binatang berkaki empat, berekor, dalam bentuk tulisan Arab khas Cirebon.

Iluminasi Mushaf dari Sumedang ini seluruhnya menggunakan kalimah tayyibah Laa ilaaha illallaah, Muhammadun rasalullaah yang diulang-ulang, membentuk bingkai tebal. Pada bagian pinggir luar, kalimat laa ilaaha illallaah dengan tinta merah diulang-ulang menjadi bingkai, seakan merupakan putaran yang tidak ada habisnya.

Pada bagian dalam kalimat la ilaaha illallaah juga diulang, dan di setiap pojok disempurnakan dengan Muhammadun rasuulullaah. Pengulangan (repetition) merupakan aspek penting dalam tradisi seni Islam.

Pengulangan itu merupakan suatu penerjemahan simbolis dari tauhid dan zikir, yang merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh seni Islam. Repetisi laa ilaaha illallaah yang tiada ujung pangkalnya mengisyaratkan “Huwa al-awwal wa al-aakhir wa ad-dzahir wa al-baatin” (QS 57:3), dan “Ke mana pun kaugerakkan wajahmu, di situ terlihat wajah Allah”. (QS 2: 115).

Bentuk kaligrafinya adalah khas Cirebon, dengan setiap ujung huruf melengkung-lengkung, seperti pada lukisan kaca. Kaligrafi yang diolah bebas, dengan sentuhan tradisi yang kuat, menghasilkan suatu bentuk yang sangat unik dalam kaligrafi. Kemudian, motif kaligrafi antropomorfis (makhluk hidup) yang ada pada bagian atas, bawah dan samping, merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi Mushaf.

Perdebatan tentang kehalalannya pada tingkat bukan untuk iluminasi Alquran saja tidak pernah sepi, apalagi untuk iluminasi Alquran, sesuatu yang semestinya amat sakral. Hadis riwayat Bukhari pun melarang dengan tegas orang menggambar makhluk bernyawa. Tak pelak, inilah keberanian yang tidak biasa dalam tradisi Mushaf.

Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Cina, Arab, dan India (Hindu) menyebabkan Cirebon berakulturasi dengan budaya-budaya asing tersebut. Salah satu hasilnya adalah imajinasi binatang khayal itu: seekor binatang yang tidak jelas spesies-nya. Ada beberapa bentuk binatang khayal, biasanya terdiri atas unsur-unsur peksi (burung), naga (lion), liman (gajah), dan macan –yang sering terukir pada kain batik, panel kayu, lukisan kaca, dan media-media lain.

Kaligrafi dalam bentuk makhluk hidup seperti pada Mushaf Sumedang, di Cirebon telah ada sejak abad ke-17, terutama di lingkungan keraton. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam Mushaf dari Sumedang. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam sebuah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat.

Kesimpulan Dari kajian mengenai ragam gaya kaligrafi pada Mushaf-mushaf Nusantara seperti telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Ragam gaya kaligrafi yang banyak dipakai oleh para penyalin Mushaf kuno Nusantara, yaitu Naskhi,Tsuluts, dan Farisi yang sederhana, sebagian dengan pengayaan bentuk huruf tertentu.
  2. Penulisan kata ayat dan makkiyyah dengan ta marbutah yang dipilin-pilin pada kepala surah dapat dianggap sebagai khas Nusantara, namun gaya kaligrafi dengan kesatuan karakter huruf yang khas tidak ada dalam Mushaf Nusantara, atau tidak dikembangkan para penyalin.
  3. Kepala surah yang ditulis dengan “kaligrafi floral” merupakan gaya tulisan yang khas, dan tidak dikembangkan para penulis Timur Tengah.
  4. Ragam gaya formal kaligrafi Timur Tengah tidak berpengaruh kuat terhadap kaligrafi Mushaf Nusantara, karena para penulis Nusantara mengembangkan gaya tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar