Kamis, 16 April 2009

terjemahan alquran

http://www.ziddu.com/download/4327063/terjemah_al-quran_1.5.zip.html

kaligrafi1





Telaah Mushaf Kuno Nusantara

y Aly Imron Januari 10, 2009 Post a comment

Ditulis oleh Ali Akbar dengan judul asli: “Menggali Khazanah Kaligrafi Nusantara.” dengan sub judul: “Telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno.”

Di Indonesia, sejauh yang diketahui sampai saat ini, Mushaf yang paling kuno ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H (1597 M) di Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan naskah tertua empat abad lebih yang lalu itu, diperkirakan kegiatan penyalinan Alquran di Nusantara telah berlangsung sejak saat itu, atau satu atau dua abad sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ulama-ulama di berbagai kota lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Selain Maluku Utara, pusat-pusat Islam masa lalu, di antaranya Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Madura, Lombok, Banjarmasin, dan lain-lain. Di kota dan daerah-daerah tersebut Mushaf tua ditemukan dalam jumlah cukup banyak, baik tersimpan di museum maupun tersebar di masyarakat.

Motivasi yang mendorong umat Islam untuk menyalin Mushaf adalah, pertama, karena Alquran merupakan pedoman hidup Muslim, dan kedua, karena semangat mengajarkannya, atau dakwah.

Membaca Alquran bagi setiap Muslim merupakan ibadah, mereka akan selalu berusaha untuk mengulang baca, dan mempelajari isinya. Oleh karena itu, setiap Muslim merasa perlu memiliki salinan Alquran, baik lengkap, atau surah-surah tertentu yang dianggap istimewa, seperti Yasin, atau surat-surat pendek dalam juz 30.

Memperhatikan Mushaf-mushaf kuno di berbagai tempat, sangat sedikit yang menuliskan kolofon, yang biasanya berisi data penulis, pemesan, dan waktu penulisan. Ketiadaan kolofon ini menyulitkan pengkaji Mushaf, karena tidak mudah untuk memperkirakan masa penulisannya. Penyalinan Mushaf pada awalnya banyak dilakukan oleh para ulama, kiai, atau santri di pesantren-pesantren di berbagai daerah di Nusantara.

Menurut Mahmud Buchari, Mushaf-mushaf monumental di Indonesia pada umumnya ditulis oleh ulama-ulama terkenal, misalnya Mushaf Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin, Mushaf Syekh Nawawi al-Bantani dari Banten, Mushaf Diponegoro, dan Mushaf Amangkurat I dari Jawa Tengah. Namun tampaknya tokoh-tokoh tersebut tidak selalu yang menulis Mushaf secara langsung, melainkan sebagai pemilik atau pemesan. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 dan 17 M, Makkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa para penyokong seni Islam, termasuk yang terpenting Mushaf, adalah para raja atau elite penguasa. Keterlibatan raja dalam penyalinan Mushaf telah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Islam, dan para khalifah selalu menjadi pelindung yang paling penting.

Di Indonesia demikian pula, para sultan atau bangsawan menjadi pemrakarsa penyalinan Mushaf, seperti di Palembang, Surakarta, dan Yogyakarta. Penyalinan Alquran yang disponsori oleh kerajaan pada umumnya bersifat monumental, baik dari segi kaligrafi maupun iluminasinya.

Iluminasinya biasanya berlatarkan emas, dengan detail penggarapan yang baik, mementingkan segi keindahan Mushaf. Sementara, Mushaf yang dibuat oleh masyarakat Islam pada umumnya, termasuk kalangan pesantren, bersifat sederhana, atau amat sederhana, karena fungsinya berbeda. Mushaf bagi kalangan ini adalah untuk dibaca atau untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu, baik kertas, iluminasi maupun kaligrafinya jauh lebih sederhana.

Ragam Gaya Kaligrafi

Ragam kaligrafi yang terdapat dalam naskah –seperti halnya dalam epigrafi (tulisan pada batu) yang telah dikaji Hasan M. Ambary– memperlihatkan dua kecenderungan, yaitu (1) adanya anasir kebudayaan asing, dan (2) pengembangan kreativitas lokal.

Dalam perkembangannya, karya-karya kaligrafi Nusantara, dalam berbagai media ekspresi seni, berhasil menyerap unsur budaya setempat. Dalam konteks penulisan Mushaf kuno Nusantara, dua karakter hasil transfomasi budaya, yaitu Mushaf yang memperlihatkan kuatnya anasir budaya asing, dan Mushaf yang merupakan hasil pengembangan kreativitas lokal, keduanya tampak cukup jelas.

Unsur-unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat terlihat misalnya dalam “kaligrafi floral”, suatu karakter kaligrafi yang bermotif tumbuh-tumbuhan yang sangat khas. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan pada kepala-kepala surah.

Sebuah Mushaf yang cukup mewah dari Palembang memperlihatkan dengan jelas unsur tradisi Mushaf Turki Usmani, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Kaligrafi Naskhi yang digunakan dalam Mushaf ini sangat dekat dengan gaya Naskhi yang dituliskan pada Mushaf-mushaf Turki sezaman. Namun Mushaf seperti itu tidak banyak, dimungkinkan karena hubungan antarkesultanan; dan yang paling banyak, menyebar di berbagai daerah, adalah Mushaf dengan “citarasa” lokal, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Hal ini memperlihatkan apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap budaya lokalnya, sehingga menumbuhkan kreativitas yang warna-warni.

Kaligrafi dalam Mushaf secara umum terdiri atas empat bagian: (1) kaligrafi teks (nash) Alquran, (2) kaligrafi nama-nama surah, (3) kaligrafi teks pias (pinggir halaman), berupa tulisan juz, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah; dan (4) kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran, berupa doa-doa, daftar surah, dan kolofon. Masing-masing bagian tersebut memiliki ciri khas penulisan tersendiri, dan gaya kaligrafi yang dipakai berbeda-beda. Para pekerja Mushaf mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan fungsi masing-masing bagian di atas.

(1) Kaligrafi teks Alquran

Gaya kaligrafi yang paling banyak dipakai untuk bagian utama Alquran ini adalah Naskhi, dan jarang sekali yang menggunakan gaya lain. Ini tentu saja dapat dimengerti, karena Naskhi merupakan gaya yang paling mudah dibaca, dan fungsi Mushaf pertama-tama adalah untuk dibaca.

Mengamati beberapa Mushaf yang ada, gaya Naskhi yang tertulis dalam Mushaf-mushaf dari berbagai daerah di Nusantara pada umumnya sederhana atau sangat sederhana. Gaya Naskhi di sini bukanlah Naskhi dengan kaidah penulisan yang baku seperti yang telah dirumuskan oleh ahli kaligrafi (khattat), namun suatu gaya Naskhi yang bebas, sesuai style masing-masing penyalin.

Dari banyak Mushaf kuno yang telah dikaji, gaya Naskhi yang paling baik kualitasnya. Sementara gaya kaligrafi yang lain tidak ditemui adalah sebuah Mushaf dari Palembang, milik keluarga ahli waris kesultanan Palembang. Naskah ini sangat mirip dengan Mushaf Turki, baik iluminasi dengan latar emasnya yang mewah, maupun kaligrafinya. Gaya Naskhi yang dipakai adalah gaya Turki, namun dengan penguasaan pena yang masih kurang sempurna.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa naskah ini merupakan satu-satunya Mushaf yang telah berusaha menuliskan huruf Arab dengan benar, sesuai kaidah baku yang telah dirumuskan oleh para kaligrafer pendahulu di Timur Tengah.

Dapat dipastikan, penyalin Mushaf ini telah mendapatkan pendidikan menulis kaligrafi dengan baik. Hal itu tampak dari olahan hurufnya yang sangat kreatif, meskipun masih dengan detail yang kurang baik. Konsistensi penulisannya, dari awal hingga akhir Mushaf, juga mengagumkan. Keseluruhan teksnya, termasuk penulisan kepala-kepala surah, menggunakan Naskhi, sesuatu yang sangat lazim dalam Mushaf-mushaf Turki.

Sesuatu yang menarik dicermati pula dalam Mushaf ini adalah penggunaan “hurf at-taj” (huruf mahkota) berupa tanda lengkung pada setiap huruf ba Basmalah. Hurf at-taj (huruf mahkota) pada ba Basmalah dalam Mushaf dari Palembang hurf at-taj (huruf mahkota) di sini berfungsi sebagai penanda awal surah.

Abjad Arab tidak memiliki huruf kapital (huruf besar), oleh karena itu, penggunaan tanda lengkung pada ba Basmalah adalah untuk menandai permulaan surah, secara lebih tegas. Penandaan seperti ini tidak ditemukan pada Mushaf lain.

Pada Mushaf-mushaf lain, penandaan awal surah pada umumnya menggunakan penulisan ta pada kata ayat dan Makkiyah/Madaniyyah yang dipilin-pilin sedemikian rupa akan dibicarakan dalam subbagian berikut.

Selain Mushaf Palembang ini, penulisan Mushaf-mushaf yang lain praktis tanpa mengindahkan kaidah baku kaligrafi Arab yang telah menjadi pegangan umum para penulis Mushaf dan naskah-naskah keagamaan selama berabad-abad. Di sini tampak bahwa kaligrafi Arab di Nusantara “jatuh” ke tingkat individu, tidak pada tingkat yang lebih tinggi misalnya, ada suatu kaidah umum.

Jika dibandingkan dengan Mushaf-mushaf dunia Islam lain, misalnya Turki, Mesir, Irak, dan Iran yang demikian indah kaligrafinya, kualitas kaligrafi Mushaf Nusantara dapat dikatakan rendah, atau “jarang [yang] sampai ke tingkatan seni”.

Di Timur Tengah, gaya yang lazim pula dipakai, selain Naskhi, adalah Muhaqqaq, suatu gaya yang biasanya dipakai untuk Mushaf-mushaf kesultanan yang monumental.

Gaya Naskhi selalu dipakai oleh para penyalin Mushaf karena gaya ini paling sederhana penulisannya, dan paling mudah dibaca. Para kaligrafer Nusantara pada umumnya menyalin Alquran terutama untuk keperluan pengajaran. Dalam hal itu, tentu yang dibutuhkan adalah Alquran yang sederhana, mudah dibaca.

Adapun Mushaf-mushaf yang indah dan monumental, pada umumnya dibuat di keraton, dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya untuk mengukuhkan kekuasaan. Meskipun demikian, kaligrafi yang digunakan adalah Naskhi pula, dan tidak menggunakan gaya lain yang monumental. Hal terakhir ini, mungkin dikarenakan tenaga terampil dalam bidang kaligrafi sangat terbatas.

Beberapa gaya Naskhi dalam Mushaf kuno yang mengikuti “selera” penyalinnya sendiri, dapat dilihat dalam banyak Mushaf yang ada. Gaya Naskhi pada Mushaf-mushaf dengan bahan kertas dluwang tampak lebih sederhana, karena Mushaf tersebut memang tidaklah dibuat untuk memenuhi rasa keindahan, tetapi hanya untuk pengajaran, terutama di pesantren-pesantren.

Kertas dluwang banyak digunakan untuk menulis teks-teks keagamaan di pesantren-pesantren, karena harganya lebih murah daripada kertas Eropa, dan dapat diproduksi secara manual.

Dalam penulisan nash Alquran, sesuatu yang dapat dikatakan unik, adalah ekor ayat-ayat sisa yang dituliskan di kepala surah selanjutnya. Hal ini menjadi gejala umum, dan terdapat pada Mushaf-mushaf dari Palembang, Pakanbaru, Mataram, Surabaya, dan Demak. Hal ini juga terdapat pada Mushaf kuno Timur Tengah, namun tidak ditemukan lagi pada Mushaf-mushaf “modern”. Sisa-sisa ayat sebuah surah yang dituliskan di kepala berikutnya: Sebuah Mushaf dari Palembang. Model seperti ini terdapat di berbagai daerah.

(2) Kaligrafi kepala surah

Bagian ini sangat menarik perhatian. Para penyalin dan seniman mencurahkan segala kemampuan untuk memperindah bagian ini, karena sangat menentukan keindahan Mushaf. Gaya kaligrafi yang dipakai untuk bagian ini sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan kreativitas penyalin, yang bisa jadi bekerja sama dengan para iluminator atau pelukis khusus.

Sesuatu yang perlu dicatat secara khusus pada bagian ini adalah penulisan huruf ta marbutah pada kata ayat atau Makkiyyah yang dipilin-pilin, kadang-kadang sangat eksploitatif. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat unik dalam Mushaf kuno Nusantara, dan terdapat di Mushaf dari berbagai daerah, yaitu Palembang, Surakarta, Sumedang, Pakanbaru, Mataram, Makassar, Surabaya, dan Demak.

Mengingat fenomena ini terdapat di Mushaf dari berbagai kota di beberapa pulau, tampaknya hal itu merupakan fenomena umum yang terdapat pula di kota-kota lain di Nusantara.

Fungsi dari “eksploitasi” huruf seperti itu sangat jelas, yaitu sebagai tanda awal surah. (Dalam Mushaf dari Demak, dengan bentuk yang lebih sederhana, ditulis untuk setiap akhir ayat Surah al-Ghasyiyah).

Dalam tradisi Mushaf di Timur Tengah, eksploitasi huruf seperti itu untuk fungsi yang sama tidak terlihat. Adapun dalam tradisi kaligrafi, huruf ta marbutah dalam kata sanah kadang-kadang ditulis dengan penggayaan tertentu, namun bentuk finalnya hanya sederhana saja. Kata “sanah” dalam tradisi kaligrafi Islam. Dalam teks-teks kitab, bentuk penandaan bab baru dengan mengeksploitasi huruf tertentu juga terlihat. Kata “fasal” atau “kitab” yang menandai awal pembicaraan baru, sekaligus sebagai pemisah pembicaraan sebelumnya, mendapatkan perlakuan khusus, dengan digayakan sedemikian rupa, bergantung pada kreativitas penyalinnya. Kata “fasal”, “masalah”, dan “kitab” sebagai penanda awal bab kitab keagamaan: naskah koleksi Mesjid Agung Surakarta.

Dalam tradisi sastra Jawa, penandaan bab baru dengan bentuk pilinan seperti di atas juga dikenal. Dalam hal ini belum jelas, siapakah yang mempengaruhi dan siapakah yang dipengaruhi. Namun, itu menunjukkan bahwa tradisi tulis Islam sangat dekat, dan berinteraksi, dengan tradisi lokalnya.

Keunikan lain dalam penulisan kepala surah Mushaf kuno Nusantara adalah penggunaan “kaligrafi floral”, seperti yang terlihat jelas dalam Mushaf Palembang dan Makassar. Dalam tradisi kaligrafi Islam, biasanya huruf adalah huruf, meskipun berlatarkan ornamen floral. Eksistensinya tetap berbeda. Namun yang terlihat dalam Mushaf dari Palembang dan Makassar –sangat mungkin juga Mushaf dari kota-kota lain– adalah sesuatu yang unik: huruf melebur, “menjadi” ornamen floral dalam arti yang sebenarnya.

Bentuk kaligrafi ini juga menunjukkan peleburan huruf Arab (baca: Islam) dalam tradisi lokal masyarakat lingkungannya, suatu adaptasi yang unik. “Kaligrafi floral” dalam kepala surah Mushaf dari Palembang dan Makassar.

(3) Kaligrafi teks pias

Teks pias (bagian tepi halaman) berupa tulisan juz, sisipan teks Alquran yang kurang, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah. Sesuatu yang diistimewakan pada bagian ini adalah penulisan juz, nisf, dan rubu’.

Untuk menandai bagian-bagian penting Alquran itu biasanya ditulis dengan gaya tsuluts, atau huruf outline. Gaya tsuluts yang ada dapat dikatakan sederhana saja, dengan penguasaan pena yang kurang baik. Namun kekurangan dalam anatomi huruf ini biasanya ditutupi oleh keindahan ornamen yang mengelilingi huruf itu, atau oleh warna emasnya.

Dalam tradisi Mushaf kuno Nusantara, gaya kaligrafi tsuluts jarang dipakai, dan bentuknya tidaklah mengalami pengayaan yang berarti. Penegasan tanda-tanda bagian penting Mushaf itu biasanya dengan tinta merah atau emas, dengan latar ornamen yang menarik, dan lain-lain, agar mudah tertangkap oleh mata, di samping untuk menambah keindahan.

(4) Kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran (doa-doa, daftar surah, dan kolofon)

Dalam Mushaf-mushaf kuno Nusantara, bagian ini merupakan sesuatu yang langka. Pada umumnya, Mushaf hanyalah teks Alquran saja, dan tidak memuat teks selain itu. Bahkan doa khatam Alquran juga langka –meskipun bisa jadi karena faktor usia sehingga sobek dan hilang.

Pada bagian ini kaligrafi yang dipakai beragam. Saya ingin mengambil contoh sebuah Mushaf dari Palembang yang selesai ditulis tahun 1848. Doa dan daftar surah ditulis dalam gaya Naskhi, sedangkan kolofon ditulis dalam gaya tulisan khas Jawi yang “Naskhi menjelang Ta’liq”, seperti dikatakan oleh Yasin Hamid Safadi. Gaya tulisan Jawi memang dekat dengan karakter Ta’liq (Farisi), namun tidak semua kaidah Ta’liq ditaati.

Huruf sin yang menjulur merupakan karakter Ta’liq yang paling kuat. Demikian pula huruf kaf, dan posisi penulisan huruf yang condong ke kanan.

Kaligrafi sebagai Iluminasi

Membincangkan kaligrafi dalam Mushaf kuno Nusantara, hal lain yang menarik adalah kaligrafi yang menjadi iluminasi Mushaf. Contoh yang baik mengenai pokok ini adalah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat. Pada iluminasi Ummul Quran, Nisful Quran, dan Khatmul Quran (bagian awal, tengah, dan akhir Alquran) terdapat iluminasi yang sama, berupa olahan kaligrafi, dan gambar suatu makhluk hidup berupa sejenis binatang berkaki empat, berekor, dalam bentuk tulisan Arab khas Cirebon.

Iluminasi Mushaf dari Sumedang ini seluruhnya menggunakan kalimah tayyibah Laa ilaaha illallaah, Muhammadun rasalullaah yang diulang-ulang, membentuk bingkai tebal. Pada bagian pinggir luar, kalimat laa ilaaha illallaah dengan tinta merah diulang-ulang menjadi bingkai, seakan merupakan putaran yang tidak ada habisnya.

Pada bagian dalam kalimat la ilaaha illallaah juga diulang, dan di setiap pojok disempurnakan dengan Muhammadun rasuulullaah. Pengulangan (repetition) merupakan aspek penting dalam tradisi seni Islam.

Pengulangan itu merupakan suatu penerjemahan simbolis dari tauhid dan zikir, yang merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh seni Islam. Repetisi laa ilaaha illallaah yang tiada ujung pangkalnya mengisyaratkan “Huwa al-awwal wa al-aakhir wa ad-dzahir wa al-baatin” (QS 57:3), dan “Ke mana pun kaugerakkan wajahmu, di situ terlihat wajah Allah”. (QS 2: 115).

Bentuk kaligrafinya adalah khas Cirebon, dengan setiap ujung huruf melengkung-lengkung, seperti pada lukisan kaca. Kaligrafi yang diolah bebas, dengan sentuhan tradisi yang kuat, menghasilkan suatu bentuk yang sangat unik dalam kaligrafi. Kemudian, motif kaligrafi antropomorfis (makhluk hidup) yang ada pada bagian atas, bawah dan samping, merupakan sesuatu yang tidak lazim dalam tradisi Mushaf.

Perdebatan tentang kehalalannya pada tingkat bukan untuk iluminasi Alquran saja tidak pernah sepi, apalagi untuk iluminasi Alquran, sesuatu yang semestinya amat sakral. Hadis riwayat Bukhari pun melarang dengan tegas orang menggambar makhluk bernyawa. Tak pelak, inilah keberanian yang tidak biasa dalam tradisi Mushaf.

Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Cina, Arab, dan India (Hindu) menyebabkan Cirebon berakulturasi dengan budaya-budaya asing tersebut. Salah satu hasilnya adalah imajinasi binatang khayal itu: seekor binatang yang tidak jelas spesies-nya. Ada beberapa bentuk binatang khayal, biasanya terdiri atas unsur-unsur peksi (burung), naga (lion), liman (gajah), dan macan –yang sering terukir pada kain batik, panel kayu, lukisan kaca, dan media-media lain.

Kaligrafi dalam bentuk makhluk hidup seperti pada Mushaf Sumedang, di Cirebon telah ada sejak abad ke-17, terutama di lingkungan keraton. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam Mushaf dari Sumedang. Kaligrafi khas Cirebon dan gambar makhluk hidup dalam sebuah Mushaf dari Sumedang, Jawa Barat.

Kesimpulan Dari kajian mengenai ragam gaya kaligrafi pada Mushaf-mushaf Nusantara seperti telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Ragam gaya kaligrafi yang banyak dipakai oleh para penyalin Mushaf kuno Nusantara, yaitu Naskhi,Tsuluts, dan Farisi yang sederhana, sebagian dengan pengayaan bentuk huruf tertentu.
  2. Penulisan kata ayat dan makkiyyah dengan ta marbutah yang dipilin-pilin pada kepala surah dapat dianggap sebagai khas Nusantara, namun gaya kaligrafi dengan kesatuan karakter huruf yang khas tidak ada dalam Mushaf Nusantara, atau tidak dikembangkan para penyalin.
  3. Kepala surah yang ditulis dengan “kaligrafi floral” merupakan gaya tulisan yang khas, dan tidak dikembangkan para penulis Timur Tengah.
  4. Ragam gaya formal kaligrafi Timur Tengah tidak berpengaruh kuat terhadap kaligrafi Mushaf Nusantara, karena para penulis Nusantara mengembangkan gaya tersendiri.

Kiat Sukses Belajar Bahasa Arab

Berikut ini sebagian kiat yang bisa dilakukan untuk mempercepat penguasaan kaidah bahasa Arab. Kami menuliskannya berdasarkan pengalaman kami sendiri mengajar bahasa Arab dan membaca kitab sejak beberapa tahun lamanya -walhamdulillah-:

  1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad: 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.
  2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini -membaca dengan benar serta mengikuti kaidah- tidak bisa disepelekan.
  3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.
  4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi -tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.
  5. Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”
  6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”
  7. Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.
  8. Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di situs ini.

Pentingnya Bahasa Arab

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles. (Siyaru A’lamin Nubala, 10/74.)

Itulah ungkapan Imam Syafi’i buat umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang imam menyaksikan sikap umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatinan beliau akan semakin memuncak.

Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang menjadi alat komunikasi di kalangan umat manusia. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Idealnya, umat Islam mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa ini. Baik dengan mempelajarinya untuk diri mereka sendiri ataupun memfasilitasi dan mengarahkan anak-anak untuk tujuan tersebut.

Di masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan bahkan para khalifah tidak melihatnya dengan sebelah mata. Fashahah (kebenaran dalam berbahasa) dan ketajaman lidah dalam berbahasa menjadi salah satu indikasi keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya saat masa kecil.

Redupnya perhatian terhadap bahasa Arab nampak ketika penyebaran Islam sudah memasuki negara-negara ‘ajam (non Arab). Antar ras saling berinteraksi dan bersatu di bawah payung Islam. Kesalahan ejaan semakin dominan dalam perbincangan. Apalagi bila dicermati realita umat Islam sekarang pada umumnya, banyak yang menganaktirikan bahasa Arab. Yang cukup memprihatinkan, para orang tua kurang mendorong anak-anaknya agar dapat menekuni bahasa Arab ini.

Keistimewaan Bahasa Arab

  1. Bahasa Arab adalah bahasa Al Quran. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya.” (QS. Az Zukhruf: 3)
  2. Bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dan bahasa verbal para sahabat. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita dengan berbahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab fikih, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi pintu gerbang dalam memahaminya.
  3. Susunan kata bahasa Arab tidak banyak. Kebanyakan terdiri atas susunan tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya.
  4. Indahnya kosakata Arab. Orang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas dan padat.

Petunjuk Urgensi Belajar Bahasa Arab

1. Teguran Keras Terhadap Kekeliruan Dalam Berbahasa

Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi tradisi generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak seirama dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Apalagi bila hal itu terjadi pada orang yang terpandang.

Ibnul Anbari menyatakan: “Bagaimana mungkin perkataan yang keliru dianggap baik…? Bangsa Arab sangat menyukai orang yang berbahasa baik dan benar, mereka memandang orang-orang yang keliru dengan sebelah mata dan menyingkirkan mereka”.

Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: “Alangkah buruk bidikan panah kalian”. Mereka menjawab, “Nahnu qawmun muta’alimiina (kami adalah para pemula)”, (Seharusnya: Nahnu Qawmun Muta’alimuuna - mereka salah dalam bahasa -ed) maka Umar berkata, “Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya bidikan kalian…” (Al Malahin, karya Ibnu Duraid Al Azdi, hlm. 72)

2. Perhatian Salaf Terhadap Bahasa Arab

Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: Amma ba’du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab”.

Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: “Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)”.

Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: “Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta dalamilah bahasa Arab”.

Beliau juga mengatakan: “Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan”. (Tarikh Umar bin Khathab, karya Ibnul Jauzi, 225)

Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar dalam menekuninya, layaknya ilmu syar’i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan sarana untuk memahami ilmu syariat.

Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang lewat olehku, kecuali aku memahami maknanya”.

Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab.

Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau mempelajari dari kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa’, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil, Ibnul Fathi Al Ba’li. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi.

Ulama lain yang terkenal memiliki perhatian yang besar terhadap bahasa Arab adalah Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu: Sayyid Isma’il bin Al Hasan, ‘Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan ‘Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.

3. Anak-Anak Khalifah Juga Belajar Bahasa Arab

Para khalifah, dahulu juga memberikan perhatian besar terhadap bahasa Arab. Selain mengajarkan pada anak-anak dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memberikan jadwal khusus untuk memperdalam bahasa Arab dan sastranya. Motivasi mereka, lantaran mengetahui nilai positif bahasa Arab terhadap gaya ucapan mereka, penanaman budi pekerti, perbaikan ungkapan dalam berbicara, modal dasar mempelajari Islam dari referensinya. Oleh karena itu, ulama bahasa Arab juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan dan dekat dengan para khalifah. Para pakar bahasa menjadi guru untuk anak-anak khalifah.

Al Ahmar An Nahwi berkata, “Aku diperintahkan Ar Rasyid untuk mengajarkan sastra Arab kepada anaknya, Muhammad Al Amin. Al Makmun dan Al Amin juga pernah dididik pakar bahasa yang bernama Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah Al Kisai yang menjadi orang dekat Khalifah. Demikian juga pakar bahasa lain yang dikenal dengan Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As Sari mengajari anak-anak Khalifah AlMu’tadhid pelajaran bahasa Arab. Juga Abu Qadim Abu Ja’far Muhammad bin Qadim mengajari Al Mu’taz sebelum memegang tampuk pemerintahan”.

Bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik di dunia, karena Allah memilihnya menjadi bahasa yang digunakan di dalam kitab-Nya yang mulia. Selain itu, bahasa Arab memang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pendidikan. Terutama dalam memahami Islam dengan baik dan benar. Hendaknya kaum muslimin bersemangat dalam mempelajarinya. Semoga saja.

Pengaruh Bahasa Arab Untuk Pendidikan

1. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan

Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah ta’ala berfirman, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan.” (QS. Al ‘Alaq: l)

Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan. Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham (manzhumah atau nazhaman). Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunannya, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik.

Sebagai contoh, kitab Asy Syathibiyah Fi Al Qiraati As Sab’i Al Mutawatirati ‘Anil Aimmati Al Qurrai As Sab’ah, adalah matan syair yang berisi pelajaran qiraah sab’ah, karangan Imam Al Qasim bin Firah Asy Syathibi. Buku lain yang berbentuk untaian bait syair, Al Jazariyah, yaitu buku tentang tajwid karya Imam Muhammad bin Muhammad Al Jazari. Dalam bidang ilmu musthalah hadits, ada kitab Manzhumah Al Baiquniyah, karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni. Dan masih banyak contoh lainnya.

2. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir

Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata, “Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.”

Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasinya. Dan ini salah satu faktor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk merenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah ta’ala, “Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS Al Hajj: 31)

Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka permisalan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan ramai-ramai menyambarnya sehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, mereka hancurkan. (Tafsir As Sa’di)

3. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak

Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor.

Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi’in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”. (Iqtidha Shiratil Mustaqim, hlm. 204)

Misalnya, penggalan syair yang dilantunkan Habib bin Aus yang menganjurkan berperangai dengan akhlak yang baik:

Manusia senantiasa dalam kebaikan,
selama ia mempunyai rasa malu
Batang pohon senantiasa abadi,
selama kulitnya belum terkelupas
Demi AIlah, tidak ada sedikit pun kebaikan dalam kehidupan,
Demikian juga di dunia, bila rasa malu telah hilang sirna

Juga ada untaian syair yang melecut orang agar menjauhi tabiat buruk.
Imam Syafi’i mengatakan:

Bila dirimu ingin hidup
dengan bebas dari kebinasaan,
(juga) agamamu utuh dan kehormatanmu terpelihara,
Janganlah lidahmu
mengungkit cacat orang,
Tubuhmu sarat dengan aib, dan orang (juga)
memiliki lidah.

Jadi, bahasa Arab tetap penting, Bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Seyogyanya menjadi perhatian kaum muslimin. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan.

Diangkat dari Al Atsaru At Tarbawiyah Li Dirasati Al Lughah Al ‘Arabiyyah, karya Dr. Khalid bin Hamid Al Hazimi, dosen Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah. Majalah jami’ah Islamiyyah, edisi 125 Th. 1424 H. Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 02/IX/1426H, Rubrik Baituna, hal. 05 - 08.

Keutamaan Bahasa Arab

Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Sungguh sangat menyedihkan sekali, apa yang telah menimpa kaum muslimin saat ini, hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan serius. Hal ini memang sangat wajar karena di zaman modern ini banyak sekali kaum muslimin tenggelam dalam tujuan dunia yang fana, Sehingga mereka enggan dan malas mempelajari bahasa Arab. Karena mereka tahu tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan jika pandai berbahasa Arab. Berbeda dengan mempelajari bahasa Inggris, kaum muslimin di saat ini begitu semangat sekali belajar bahasa Inggris, karena mereka tahu banyak tujuan dunia yang bisa diperoleh jika pandai bahasa Inggris, sehingga kita dapati mereka rela untuk meluangkan waktu yang lama dan biaya yang banyak untuk bisa menguasai bahasa ini. Sehingga kursus-kursus bahasa Inggris sangat laris dan menjamur dimana-mana walaupun dengan biaya yang tak terkira. Namun bagaimana dengan kursus bahasa Arab…??? seandainya mereka benar-benar yakin terhadap janji Allah ta’ala untuk orang yang menyibukkan diri untuk mencari keridhoanNya, serta yakin akan kenikmatan surga dengan kekekalannya, niscaya mereka akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa arab. Karena ia adalah sarana yang efektif untuk memahami agama-Nya.

Kenyataan ini tidak menunjukkan larangan mempelajari bahasa Inggris ataupun lainnya. Tapi yang tercela adalah orang yang tidak memberikan porsi yang adil terhadap bahasa arab. Seyogyanya mereka juga bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari bahasa Arab.

Syaikh Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris untuk membantu dakwah ?” Beliau menjawab: “Aku berpendapat, mempelajari bahasa Inggris tidak diragukan lagi merupakan sebuah sarana. Bahasa Inggris menjadi sarana yang baik jika digunakan untuk tujuan yang baik, dan akan menjadi jelek jika digunakan untuk tujuan yang jelek. Namun yang harus dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab karena hal itu tidak boleh. Aku mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, bahkan sebagian mereka yang tertipu lagi mengekor (meniru-niru), mengajarkan anak-anak mereka ucapan “selamat berpisah” bukan dengan bahasa kaum muslimin. Mereka mengajarkan anak-anak mereka berkata “bye-bye” ketika akan berpisah dan yang semisalnya. Mengganti bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa yang paling mulia, dengan bahasa Inggris adalah haram. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi kebolehannya bahwa kadang-kadang hal itu bisa menjadi wajib. Walaupun aku tidak mempelajari bahasa Inggris namun aku berangan-angan mempelajarinya. terkadang aku merasa sangat perlu bahasa Inggris karena penterjemah tidak mungkin bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku secara sempurna.” (Kitabul ‘Ilmi).

Dan termasuk hal yang sangat menyedihkan, didapati seorang muslim begitu bangga jika bisa berbahasa Inggris dengan fasih namun mengenai bahasa Arab dia tidak tahu?? Kalau keadaannya sudah seperti ini bagaimana bisa diharapkan Islam maju dan jaya seperti dahulu. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami syari’at dengan benar kalau mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab…???

Hukum Orang Yang Mampu Berbahasa Arab Namun Berbicara Menggunakan Bahasa Selain Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tu’jar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosululloh juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf: “Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja - gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Khurasan, yang penduduk kedua kota tersebut berbahasa Persia serta menduduki Maghrib, yang penduduknya berbahasa Barbar, maka kaum muslimin membiasakan penduduk kota tersebut untuk berbahasa Arab, hingga seluruh penduduk kota tersebut berbahasa Arab, baik muslimnya maupun kafirnya. Demikianlah Khurasan dahulu kala. Namun kemudian mereka menyepelekan bahasa Arab, dan mereka kembali membiasakan bahasa Persia sehingga akhirnya menjadi bahasa mereka. Dan mayoritas mereka pun menjauhi bahasa Arab. Tidak disangsikan lagi bahwa hal ini adalah makruh. (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Pengaruh Bahasa Arab Dalam Kehidupan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Merupakan metode yang baik adalah membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab hingga anak kecil sekalipun dilatih berbahasa Arab di rumah dan di kantor, hingga nampaklah syi’ar Islam dan kaum muslimin. Hal ini mempermudah kaum muslimin urituk memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para salafush shalih. Lain halnya dengan orang yang terbiasa berbicara dengan satu bahasa lalu ingin pindah ke bahasa lain maka hal itu sangat sulit baginya. Dan ketahuilah…!!! membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, akhlak, agama. Orang yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbagus akhlak dan agamanya. Berbeda dengan orang yang pandai berbahasa Inggris (namun tanpa dibekali dengan ilmu agama yang baik), dia cenderung senang membaca buku berbahasa Inggris yang jelas kebanyakannya merupakan karya orang kafir. Sehingga mulailah ia mempelajari kehidupan orang kafir sedikit demi sedikit. Mau tidak mau iapun harus mempelajari cara pengucapan dan percakapan yang benar melalui mereka, agar dia bisa memperbagus bahasa Inggrisnya. Bisa jadi akhirnya ia pun senang mempelajari dan menghafal lagu-lagu berbahasa Inggris (yang kebanyakan isinya berisi maksiat) dan tanpa sadar diapun mengidolakan artis atau tokoh barat serta senang mengikuti gaya-gaya mereka. Akhlaknya pun mulai meniru akhlak orang barat (orang kafir), dan mengagungkan orang kafir serta takjub pada kehebatan mereka. Akhirnya, diapun terjatuh dalam tasyabbuh (meniru-niru) terhadap orang kafir, menganggap kaum muslimin terbelakang dan ujung-ujungnya dia lalai dari mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Syaikhul Islam Berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:

مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”

Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”

Dan pada riwayat lain, Beliau (Umar bin Khattab) berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).

Penutup

Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan Bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.

Sungguh sangat ironis dan menyedihkan, sekolah-sekolah dinegeri kita, bahasa Arab tersisihkan oleh bahasa-bahasa lain, padahal mayoritas penduduk negeri kita adalah beragama Islam, sehingga keadaan kaum muslimin dinegeri ini jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.

Maka seyogyanya anda sekalian wahai penebar kebaikan… mempunyai andil dan peran dalam memasyarakatkan serta menyadarkan segenap lapisan masyarakat akan pentingya bahasa Al Qur’an ini, dengan segala kemampuan yang dimiliki, semoga Allah menolong kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasul-Nya yang shohih. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah ta’ala. Segala puji hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam.

Kesalahan Dalam Memanjangkan Dan Memendekkan Kata Dalam Bahasa Arab

Bahasa arab adalah bahasa yang luar biasa, bahasa yang memiliki kosakata yang sangat banyak, satu huruf dalam satu kalimat saja, apabila dihilangkan atau di tambahkan akan menimbulkan perubahan arti yang sangat jauh berbeda, cara pembacaan harakat yang salah maka akan menimbulkan makna yang jauh berbeda.

Di antara kesalahan yang terjadi pada sebagian kaum muslimin adalah ketika membaca salah satu surat dalam al-Qur’an yaitu surat al-kafirun, di antara ayatnya adalah:

لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” (QS. Al-Kafirun: 2)

Ayat ini menunjukkan pengikraran kita sebagai seorang muslim, bahwa kita tidak akan menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir.

Sebagian kaum muslimin membaca ayat ini dengan memendekkan kata لاَ menjadi لَ . Mereka tidak tahu akibat yang di timbulkan karena perubahan ini sangat besar!!

Kata laa dengan memanjangkannya bermakna tidak (inilah yang benar) sedangkan kata la dengan memendekkannya bermakna sungguh-sungguh. (silakan lihat pembahasa pada macam-macam laa dan Macam-macam lam)

Kalau la dipendekkan, maka artinya berubah menjadi, “Aku benar-benar akan menyembah apa yang kamu sembah.” !?…. betapa berubahnya makna kalimat yang mulia ini ! bukankah dengan mengucapkannya malah ia terjatuh dalam ucapan kesyirikan?!

Contoh kalimat dalam al-Qur’an yang menggunakan la (dengan memendekkannya) adalah firman Allah dalam Surat az-Zumar,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Kata la (dibaca pendek) pada kalimat “La in”, pada kalimat “La yahbathonna” dan “La takunanna” merupakan la yang bermakna taukid (penguatan), sehingga kalau diartikan secara bahasa kira-kira adalah, “Sungguh jika kamu mempersekutukanku (Allah), sungguh niscaya akan hapuslah amalanmu dan sungguh kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.”

Pembaca sekalian yang di muliakan oleh Allah, coba perhatikan, berapa La penegas dalam kalimat di atas??. Tiga buah kata penegas!!. Belum lagi kalau nun taukid (yang juga merupakan huruf penegas) kita masukkan…

Faedah yang bisa kita ambil diantaranya adalah, betapa pentingnya mengenal kesyirikan dan perinciannya, dalam ayat ini Allah memperingatkan bahaya kesyirikan dengan sangat keras.

Faedah lainnya adalah betapa bahasa arab tidak bisa diungkapkan secara sempurna oleh bahasa lainnya. Seperti firman Allah di atas, kalau kita artikan dalam bahasa indonesia saja maka artinya seperti pada terjemahan pertama, padahal kalau ingin di ungkapkan secara lebih rinci maka artinya seperti pada terjemah yang kedua, dan arti kedua pun sesungguhnya belum mencerminkan pemahaman sempurna dari Firman Allah di atas.

Pemahaman bahasa seperti ini tidak akan bisa dirasakan kecuali jika menguasai bahasa arab, sepintar apapun penerjemah, dia akan kesulitan, bahkan tidak bisa untuk menerjemahkan bahasa arab ke bahasa lainnya dengan sempurna, karena sulitnya mencari kosakata yang sesuai, sulitnya mengungkapkan gaya bahasa arab dengan bahasa lainnya…

Karena itu pulalah mengapa sebagian para ulama mengatakan kalau mempelajari bahasa arab hukumnya adalah wajib, mereka mengambil kesimpulan ini dari kaidah,

مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”

Kalau kita tidak mungkin memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara sempurna kecuali dengan mempelajari bahasa arab, maka mempelajari bahasa arab hukumnya menjadi wajib, wallahu a’lam.